Entah mengapa di menit ke-56, tiba-tiba bek Leipzig, Nordi Mukiele terjatuh sendiri saat men-dribble bola tak jauh dari kotak penati. Bola terlepas dan Angel Di Maria langsung melepaskan umpan cantik kepada Juan Bernat yang bebas menanduk bola di depan gawang. Gol!. Gol ketiga PSG di pertandingan tersebut yang membuat perjuangan Leipzig tamat.
Kebobolan tiga gol, tanpa membalas satu golpun seperti menjadi antiklimaks dari apa yang dilakukan oleh klub asal Jerman itu di Liga Champions musim ini. Leipzig tampil perkasa dan membuat banyak kejutan. Tottenham Hotspurs disingkirkan dan Atletico ditendang di perempat final.
Asa untuk melihat Leipzig terbang tinggi membumbung tinggi, namun di hadapan PSG, semua mimpi itu buyar. Di Estadio De Luz, Leipzig ditaklukkan PSG 0-3, dengan gol dari Marquinhos, Angel Di Maria dan Juan Bernat.
Ada apa dengan Leipzig, mengapa takluk dengan begitu mudahnya? Paling tidak ada 3 (tiga) alasan yang dapat dikemukakan.
Pertama, pendekatan pertahanan dalam taktik 3-5-2 pelatih Julian Nagelsmann yang kali ini kurang berhasil.
Pelatih RB Leipzig, Julian Nagelsmann jelas menjadi sorotan dalam pertandingan ini. Keberhasilan melangkah ke semifinal dilihat sebagai faktor Nagelsmann dalam mengemas taktik yang disiapkannya. Sayang, kali ini taktiknya kurang ngepas, bahkan dapat dikatakan membantu PSG untuk menang.
Jika kita perhatikan 3-5-2 ala Nagelsmann ini dapat berubah menjadi 3-4-3 saat menyerang atau menjadi 4-5-1 saat bertahan. Bek sayap, Angelino di sisi kiri terlihat fleksibel dalam merubah taktik ini. Saat Angelino maju, menjadi 3-4-3 dan saat Angelino mundur, formasi berubah menjadi 4 bek sejajar.
Tak ada yang keliru dari transformasi taktikal tersebut, persoalannya adalah garis pertahanan Leipzig yang nampak terlalu dalam.
Tiga bek sejajar Leipzig; Upamecano, Klosterman dan Mukiele terlalu dalam menjaga daerah mereka. Hal ini nampaknya dilakukan agar dapat menjaga kecepatan Neymar dan Mbappe sekaligus membuat aliran bola "satu dua" yang mengandalkan kecepatan Neymar, Mbappe dan Di Maria mudah dihentikan.
Nampaknya efektif, hanya persoalannya, Leipzig lupa, bahwa garis pertahanan yang mundur terlalu di belakang melahirkan persoalan baru. Jika tak jeli, maka akan membuat jarak antara lini tengah dan depan terlalu jauh.