Tulisan ini adalah tulisan kekecewaan tetapi dengan rasa hormat yang tinggi, bagi Anthony Ginting dan juga Kento Momota. Laga final tunggal putra berlangsung hebat, meski kalah, saya kira ini laga terbaik tunggal putra bulutangkis yang pernah saksikan dalam beberapa tahun terakhir.
Tidak banyak pertandingan olahraga lain yang membuat saya "sengsara" seperti menyaksikan laga sepakbola yang melibatkan klub kesayangan saya. Tetapi, laga Ginting melawan Momota di dinal BWF World Tour 2019 adalah sebuah perkecualian.
Saya harus (maaf) menahan kencing ketika kok bulutangkis tidak mau jatuh dimainkan kedua pemain itu. Saya harus mengumpat (kepada Momota) ketika smash Ginting melaju mulus menyentuh wilayah Momota tanpa bisa dikembalikan.
Pandangan mata saya tajam melihat dan berharap keringat di wajah Momota volumenya betambah banyak deras yang membuat tahi lalat di bawah matanya jadi kempang kempis, karena Momota hampir sekarat sepanjang pertandingan.
Saya harus menarik napas panjang ketika Ginting harus duduk, melihat ujung kakinya harus diperban. Mungkin melepuh, mungkin ibu jarinya membesar, karena efek dari lari ke kiri ke kanan tanpa henti mengembalikan bola dari si pemain nomor satu dunia asal Jepang itu.
Lalu saya harus terdiam. Merenung dan berusaha berpikir positif, bahwa jika harus ada yang menang, maka ada yang mengalah untuk kalah.
Jika semuanya mau menang, bagaimana nanti hadiahnya dibagi. Ginting kali ini harus mengalah untuk kalah. Meski harus sesak, sudah sebelas kali dari lima belas kali pertemuan, Ginting mengalah.
Ginting itu tersenyum mendapat hadiah dari turnamen dengan level paling tinggi ini. Kumpulan dari 8 pemain terbaik tunggal terbaik sepanjang tahun.
Ah, sudah luar biasa pria batak kelahiran cimahi ini. Guangzhao dibuat kagum kepadanya setelah dua kali melibas jagoan tuan rumah, Chen Long dengan straight set pula.
Lalu, apakah Ginting di hadapan Momota? Bagi saya, Ginting itu bagai buah ceri di kue ultah Kento Momota.