LA NUESTRA. Di sepak bola istilah ini pernah begitu populer, khususnya di Argentina pada awalnya terkenal pada periode 1930-an hingga 1950-an. La Nuestra membuat klub-klub Argentina amat terobsesi dengan gaya bermain artistik dan elegan, jauh dari permainan yang keras.
Sempat hilang beberapa saat, La Nuestra muncul lagi pada 1978, di era timnas Argentina dibesut oleh Cesar Menotti. Tak tanggung-tanggung, La Nuestra mampu membawa Argentina menjadi juara Piala Dunia 1978.
Nama-nama seperti Mario Kempes, Osvaldo Ardilles dan Daniel Pasarella seperti para pemain balet yang tampil artistik di lapangan. Mario Kempes yang saat itu bermain di klub Spanyol, Valencia bahkan tampil sebagai top skor dengan 8 gol yang dicetaknya di sepanjang turnamen.
La Nuestra juga identik dengan sepak bola terbuka. Tak perlu heran karena Menotti adalah pengagum Total Football ala Belanda. Argentina di tangannya bermain terbuka, artistik dan menyerang.
Pada Periode 80-an, La Nuestra perlahan ditinggalkan, sejak Carlos Bilardo mulai menangani Albiceleste sejak 1983 menggantikan Menotti. Gaya Bilardo berbeda 180 derajat dengan gaya Menotti.
Jika Menotti adalah seorang libertarian-romantis dan menggemari sisi keindahan sepak bola, Bilardo adalah tipikil unapolegitc pramgmatis yang hanya mempunyai dua pandangan terkait permainan tersebut : menang atau kalah, yang lain tidak.
Hasilnya tak kalah apik. Argentina di tangan Bilardo mampu tampil efektif, tidak terlalu banyak menyerang, tetapi beruntung tetap mempunyai Diego Armando Maradona yang begitu tajam dan atraktif di lapangan, sendirian. Bilardo bersama Argentina menjuarai Piala Dunia 1986.
***
Melawan Myanmar nanti, timnas U-22 SEA Games besutan Indra Sjafri berhadapan dengan dua hal kontras ini, mau bermain dengan gaya La Nuestra atau pragmatis.
Di dalam penerapannya, Indra Sjafri cenderung seperti Menotti. Indra Sjafri adalah tipikal pelatih yang gemar tampil elegan dan artistik di setiap tim yang dilatihnya. Pemain diarahkan untuk bermain dengan pola bola-bola pendek, mengalir indah, dan membongkar pertahanan lawan.
Egy Vikri, Osvaldo Haay, dan Saadil Ramdani seperti alat musik yang terdengar lembut tetapi mematikan dengan Evan Dimas sebagai konduktor yang mengatur kapan dimainkan dengan pelan dan kapan dimainkan dengan cepat.