Tulisan ini sejatinya bukan tentang saya, tetapi tentang Kompasiana. Bagi saya, Kompasiana bukan sekadar Etalase Warga Biasa seperti yang dikatakan oleh founder Kompasiana, Pepih Nugraha, tetapi menjelma menjadi sebuah rumah. Rumah belajar, berinteraksi sekaligus tempat ternyaman untuk berbagi.
Kang Pepih mengatakan soal etalase yang diambil dari bahasa Prancis, etalage, dalam bahasa Inggris display demikian; "Kompasiana adalah etalase, tempat untuk memajangkan dagangan atau benda-benda seni".
Kompasiana yang didirikan pada 2008 ini adalah tempat untuk menampilkan berbagai jenis tulisan warga biasa; baik berupa berita warga, opini warga, catatan harian warga dan bahkan fiksi warga.
Memang sampai sekarang, begitulah etalase itu terbangun, warga biasa mulai menampilkan kemampuan menulisnya yang dalam mimpi Kang Pepih, diharapkan kualitasnya tidak kalah dengan karya tulis para penulis atau jurnalis profesional.
Mimpi besar Kompasiana itu, perlahan-lahan mulai atau bahkan telah tercapai dengan menjamurnya para penulis yang berkiprah, meski pada kenyataannya menulis itu bukan pekerjaan mudah, bukan saja soal kualitas tulisan saja, tetapi dampak baik yang diberikan akan tulisan tersebut.
Terdaftar secara resmi pada 7 Januari 2014, saya baru berani memosting tulisan pertama saya pada tanggal 19 Januari 2019.
Jika harus sedikit menceritakan tentang sesuatu yang berbau sejarah (le petit histoire), tulisan pertama saya itu berjudul Ivanovic Hentikan Serena. Tulisan yang jujur butuh usaha keras sekali untuk menuliskannya, meski hanya berisi 284 kata.
Tulisan berkategori olahraga tersebut saya tuliskan terinspirasi oleh kompasianer asal Kupang, yang juga rekan sekaligus sahabat, Pither Yurhans Lakapu.
Kompasianer Pither pernah mengatakan bahwa jika ingin mulai menulis, tulislah sesuatu yang amat diminati,.
Tentang kompasianer Pither, beliau adalah sosok inspiratif bagi saya.