Lihat ke Halaman Asli

Arnold Adoe

TERVERIFIKASI

Tukang Kayu Setengah Hati

Ancaman Obesitas dan Kecemburuan di Koalisi Jokowi

Diperbarui: 3 Juli 2019   10:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PR bagi Jokowi-Ma'ruf, mendisain Koalisi ke depan I Gambar: Tribun

Salah satu pekerjaan rumah terbesar bagi Jokowi-Ma'ruf saat ini adalah menyiapkan skema politik yang tepat berkaitan dengan koalisi di dalam pemerintahan ke depan.

Ada 3 paket koalisi yang bisa dipertimbangkan oleh Jokowi. Pertama, koalisi mini (minority coalition), koalisi ramping (minimal winning coalition) dan koalisi maksi (overzised coalition). Koalisi mini nampaknya tidak diambil Jokowi karena postur sekarang nampaknya sudah cukup besar. Apalagi koalisi mini berisiko karena terlalu kecil untuk mendukung pemerintahan di parlemen.

Koalisi paling ideal adalah koalisi ramping tapi sehat. Postur koalisi tidak terlalu besar, tetapi secara matematis mampu mengunci kebijakan pemerintahan di parlemen. Jika disiplin dari koalisi ramping ini dipertahankan, maka dipercaya dapat menyokong pemerintahan secara efektif.

Koalisi ramping juga membuat ruang untuk dibentuknya kabinet ahli menjadi lebih terbuka luas dengan transaksi yang terjadi tidak terlalu berlebihan kepada menteri-menteri dari partai yang tak punya kompetensi.

Saat ini koalisi Jokowi yang disebut Koalisi Indonesia Kerja sebenarnya sudah cukup ramping dan kuat dengan 349 kursi atau 60,7 persen suara di Parlemen. Hitung-hitungan ini, tentu akan bertambah menjadi lebih dari 70 persen jika PAN dan Demokrat yang santer diberitakan akan ikut merapat. Sebagai informasi, Demokrat mendapatkan 7,77 persen suara, sedangkan PAN mendapatkan 6,84 persen suara.

Akan tetapi isu yang tak kalah kuat dengan rencana ikut bergabungnya Gerindra membuat koalisi pemerintah akan segera berubah menjadi koalisi maksi. Artinya jika tambahan 12,57 persen dari Gerindra terjadi, maka koalisi pemerintah akan menjadi 80-an persen.

Koalisi maksi adalah koalisi yang kegemukan atau obesitas dan terbukti tidak efektif seperti pengalaman SBY jilid dua yang didukung oleh 75 persen kekuatan politik di parlemen.

Koalisi yang kegemukan dan sulit bergerak membuat  terkesan lamban dalam gerak komunikasi maupun aplikasi. Selain tentunya, mimpi terbentuknya zaken kabinet, hanya akan berada dalam tataran mimpi.

Selain itu jika koalisi maksi yang menjadi pilihan, harga sosial politiknya menjadi terlalu mahal. Pasca putusan sidang MK, aroma itu sudah tercium, meski belum menyengat. Pemerintah akan tersandera secara politis dan tercipta "kecemburuan" kepada aktor yang  tak berkeringat dalam Pilpres lalu.

Jika jadi bergabung, Gerindra, Demokrat maupun PAN akan dianggap sebagai bagian yang ikut menghisap madu pemerintahan meski, tidak berkontribusi apa-apa, bahkan menjadi lawan politik pada perhelatan pemilu yang lalu.

Partai NasDem termasuk yang gencar bersuara soal ini meski dibungkus dengan rapi, tanpa aroma kecemburuan yang menyengat. Melalui politikusnya, Taifuqhaldi, NasDem menyatakan akan khawatir bahwa kehadiran partai-partai pendukung Prabowo Subianto ini dinilai justru akan membelah kabinet.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline