Ada sebuah narasi menarik yang dibangun ketika sidang Mahkamah Konstitusi sedang dalam proses persidangan, yaitu soal hilangnya 22 juta suara Jokowi.
Apa yang dimaksud dengan hilang 22 juta suara? Hasil resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai termohon dalam sidang MK adalah Jokowi-Ma'ruf Amin menang dengan 85.607.362 atau 55,50 % sedangkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dengan 68.650.239 atau 44,50 %.
Tim hukum Prabowo menyatakan sebaliknya dengan mengatakan dalam isi gugatan hasil bahwa kemenangan Jokowi-Ma'ruf suara ditetapkan melalui cara-cara yang tidak benar, melawan hukum atau setidak-tidaknya dengan disertai tindakan penyalahgunaan kekuasaan presiden petahana sehingga merupakan kecurangan pemilu yang sifatnya terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Karena itu, menurut tim hukum Prabowo Jokowi-Ma'ruf Amin kalah karena hanya mempunyai jumlah suara 63.573.169 (48%), sedangkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dengan jumlah suara 68.650.239 (52%). Pemenangnya adalah Prabowo!
Nah, jika Jokowi-Ma'ruf kalah dan hanya memiliki 63 juta suara dibanding rilis KPU yang mencapai 85 juta, di mana suara hilang 22 juta selisih tersebut?
Tim hukum Prabowo mengajukan lima poin untuk menguatkan opini mereka bahwa seharunya Jokowi-Ma'ruf tidak mendapatkan 22 juta suara. Pertama, daftar pemilih tetap (DPT) yang tidak valid. Kedua, Sistem perhitungan (Situng) KPU yang dianggap bermasalah. Ketiga, penggelembungan 22 juta suara. Keempat, komisioner KPU diberhentikan dan terakhir, status Ma'ruf Amin yang dianggap tidak sah untuk mengikuti Pilpres.
Dalam sebuah diskusi, Ketua KPU Arif Budiman terlihat percaya diri menghadapi gugatan jika "hanya" berkisar kelima poin ini. Bahkan ibarat petinju, KPU bersiap untuk membuat tim hukum Prabowo-Sandiaga terkapat alias kalah KO.
Perhatikan beberapa hook atau upeercut balasan dari KPU soal kelima poin ini. Pertama, soal DPT yang tidak valid dalam beberapa kesempatan KPU mengatakan bahwa pembahasan tentang DPT sudah diadakan beberapa kali pertemuan yang melibatkan semua kontestan.
Artinya, jika ada persoalan tentang itu, seharusnya sebelumnya sudah dipersoalkan dalam ranah administrasi, menjadi amat terlambat jika baru dipersoalkan pada saat ini.
Kedua, soal Situng (Sistim perhitungan) KPU yang dianggap bermasalah. Berulangkali KPU menjelaskan bahwa perangkat yang digunakan mereka sudah dijelaskan kepada kontestan pemilu, baik dari pihak TKN maupun BPN. Tim dari BPN dibawa ke ruang kerja dan ditunjukan serta dijelaskan bagaimana mechanism kerja dari situng.
Untuk kesalahan input data, KPU sudah mengoreksi semua kesalahan. Sistem ini pun perlu dibuka agar jika ada koreksi, semua pihak termasuk saksi dari masing-masing kontestan dapat melaporkan jikalau terjadi kejanggalan.