Asian Games 2018 sudah secara resmi ditutup lebih dari dua minggu yang lalu namun gaungnya masih didengarkan hingga sekarang. Bukan saja gaung gema pujian terhadap prestasi hebat anak bangsa tetapi juga sorotan terhadap kehidupan para atlet pasca meraih prestasi juga cukup menarik perhatian.
Salah satunya adalah pemberitaan secara terus menerus dari beberapa tayangan infotaiment terhadap peraih medali emas bulutangkis tunggal putra, Jonathan Christie. Terakhir, pebulutangkis yang akrab dipanggil Jojo itu disorot kehidupan pribadinya terutama soal permasalahan cinta. Misteri gandengan tangan dan insta story sampai dibahas sedetail-detailnya. Pemberitaan Jojo bahkan setara dan sedramatis pemberitaan artis.
Meski agak gerah, tetapi mau tidak mau harus disadari bahwa inilah dampak dari keterlibatan media dalam ekspose dunia olahraga. Dampak yang melahirkan fenomena selebriti dalam kehidupan para atlet. Profil Jojo dengan medali emas, wajah ganteng, sexual appeal yang kuat dengan aksi buka bajunya tentu menjadikan dirinya memiliki nilai tinggi untuk komersialisasi media dan bersiap dibedah oleh media.
Namun sontak muncul sebuah pertanyaan menarik, apakah ekspos selebritis terhadap Jojo itu sudah berlebihan? Tentu saja jawaban ini tidak bisa serta merta dengan menjawab ya atau tidak, tetapi yang paling penting adalah bisa melihat batasan-batasan yang bisa dianggap obyektif dalam melihat persoalan ini. Ada dua hal penting, yang bisa dikemukakan dalam melihat persoalan ini. Media dan Jojo sendiri.
Pertama, ekspose media masih dalam tahap wajar jika tidak membuat Jojo kehilangan fokus. Jojo terkenal? Ya, tetapi harus diingat bahwa status Jojo bukanlah artis yang membutuhkan keterkenalan tetapi seorang atlet yang dituntut untuk terus berprestasi.
Medali emas Asian Games 2018 tentu adalah pencapaian yang harus diapresiasi bagi pebulutangkis yang masih berusia 21 tahun ini. Namun harapan bangsa ini terhadap Jojo belum selesai dengan emas Asian Games tetapi medali emas di ajang yang lebih akbar, Olimpiade Tokyo 2020 nanti. Harapan yang dipercaya juga menjadi target dan fokus Jojo secara pribadi. Kita perlu berharap, melalui pemberitaan "keartisan" terhadap dirinya, Jojo jangan sampai kehilangan fokus untuk berusaha menggapai mimpi itu.
Dalam Psychology Today, di artikelnya How Media Use Hurt Athletes, dikatakan bahwa kemampuan untuk fokus adalah fondasi dari begitu banyak hal yang berkaitan dengan kinerja atletik yang konsisten. Tanpa kapasitas untuk fokus yang berkelanjutan, para atlet akan melupakan apa yang mereka kerjakan secara teknis atau taktis selama latihan.
Paling buruk adalah begitu atlet kehilangan fokus, mereka berhenti melakukan apa pun yang sedang mereka kerjakan. Apa ukurannya? Jojo menjadi tidak konsisten dan prestasinya menurun. Kita tentu tidak mau hal ini terjadi pada Jojo.
Bagaimana jika pemberitaan media sudah berlebihan dan mengganggu? Sebuah hal menarik yang pernah dilakukan federasi olahraga di Jepang terhadap ekspose berlebihan media terhadap salah satu atlet wanita mereka, Miki Ando pada tahun 2006 dapat menjadi pelajaran.
Miki Ando adalah juara skating nasional Jepang dua kali dan juara dunia yunior 2004. Dia juga menjadi skater wanita pertama yang berhasil membuat rekor lompatan di kompetisi tersebut. Ando menjadi sangat populer di Jepang dan menerima banyak perhatian dari majalah gosip dan media Jepang lainnya. Namun, prestasi Ando mengalami kesulitan pada tahun 2005 dan 2006, dan liputan media berubah menjadi negatif.
Ketika Federasi Skating Jepang (JSF) memilih Ando untuk menjadi anggota skating wanita olimpiade 2006 di Torino, Italia, media mengatakan bahwa dia tidak pantas untuk pergi ke Torino. Bahkan beberapa hal pribadi Ando dijadikan alasan penilaian penolakan terhadap dirinya.