Sepak bola adalah kehidupan itu sendiri. Lapangan hijau hanyalah representasi dari kerasnya perjuangan pesepakbola di dalam kehidupan yang dituangkan dalam berbagai atribut. Mulai dari berlari, menggiring bola, menyundul dan menendang bola ke arah gawang, adalah simbol bahwa kerasnya kehidupan membutuhkan kerja keras, semangat pantang menyerah dan pengorbanan untuk menggapai mimpi.
Perspektif yang sama pula dapat digunakan dalam menarasikan perjuangan para pemain timnas U-16 sesudah mereka menggores sejarah dengan menjadi kampiun Piala AFF 2018 setelah mengalahkan Thailand melalui drama adu penalti.
Mereka berjuang dan mereka menangis, menangis bahagia karena perjalanan sampai di titik itu bukan sebuah perjalanan yang mudah. Cerita di balik isak tangik, pekik dan tarian kemenangan menjadi sisi yang menggugah dan menarik untuk dicermati.
Supriadi misalnya, penyerang sayap bernomor punggung 11 itu berlutut menangis meraung begitu Indonesia dipastikan menjadi juara. Supriadi memang mencuri perhatian sepanjang pertandingan, seperti ingin membuktikan sesuatu sepanjang pertandingan Supriadi terus berlari tanpa lelah . Hanya kaki yang sudah lelah untuk berlari yang membuat dia harus keluar lapangan.
Tak banyak yang mengetahui kisah memilukan yang pernah dialami pemain asal Rungkut, Surabaya tersebut. Supriadi ternyata pernah menjadi korban penipuan oleh oknum tak bertanggung jawab dalam perjalanan karirnya.
Dijanjikan untuk menjadi seorang pesepakbola profesional dengan membayar 1,8 juta rupiah dan harus datang ke Jakarta, Supriadi malah ditelantarkan. Untuk bertahan hidup pakaian dan sepatu miliknya harus dijual. Tak mau untuk gampang menyerah, kemurahan Tuhan melalui orang yang peduli padanya datang hingga akhirnya Supriadi diterima di Bina Taruna.
Supriadi memang dididik untuk mandiri tak gampang menyerah. Sang ibu menceritakan tentang Supri yang harus berjuang untuk membeli sepatu sepak bola. "Dulu Supri itu pengen punya sepatu sendiri, saya bilang saya belum bisa beliin, uang darimana. Saya cuma jualan es, bapaknya tukang bangunan yang kerjanya tak tentu," ujar Kalsum, ibunda Supriadi suatu saat."Sepatunya jelek, seharga 30 ribu. Tapi Supriadi jarang mengeluh" tambah Kalsum.
Bagi Supriadi kehidupan itu melarang dia untuk berhenti berlari selayaknya mengejar bola jika ingin meraih cita-cita yang diidamkannya meski keadaan sekitar seperti tampak sulit. Hingga saat ini, Supriadi mampu membuktikan hal tersebut.
Lain lagi cerita seorang Brylian Aldama, gelandang bertahan Garuda Asia. Brylian terlihat menangis sesenggukan seusai melawan Malaysia. Brylian adalah kunci dari mengalirnya bola dari lini belakang ke depan .Brylian yang tampil tenang bukan saja mampu mematikan derak pemain depan lawan tetapi bersama David Maulana, Brylian menjadi tembok kokoh sebelum tim lawan masuk ke lini pertahanan Indonesia.
Ketenangan pemain bernama lengkap Brylian Neghieta Dwiki Aldama ini membuat tak banyak orang mengetahui duka mendalam yang pernah dialaminya. Di awal tahun ketika sedang mempersiapkan diri untuk seleksi pemain, Brylian kehilangan sang ibu terkasih, Isnaini. Padahal Isnaini adalah orang terdekat Brylian yang sangat mendukung karir sepak bola Brylian.
Pemain asal Sidoarjo ini selalu teringat bagaiman almarhuma selalu berada di pinggir lapangan selama Brylian berlatih. "Mungkin dia lihat dari atas, saya harap mama saya bosa bahagia di sana" ucap Brylian.