Budayawan sekaligus penulis bola, Romo Sindhunata pernah menulis tulisan tentang Gus Dur pada tahun 1999, berjudul " Kesebelasan Gus Dur". Sindhunata dan Gus Dur memang memiliki kesamaan yaitu sama-sama pecinta sepak bola. Zaman itu, tulisan Sindhunata dan Gus Dur mengenai sepak bola terus menerus dimuat di harian Kompas. Lebih dari sekali mereka berdua saling sahut-sahutan melalui bahasa bola untuk membahas Politik dalam kacamata Bola. Selalu tajam dan menarik.
Dalam tulisan "Kesebelasan Gus Dur" ini, Sindhunata berusaha memberi saran kepada Gus Dur agar dapat memilih anggota kabinet yang mumpuni. Kabinet ini disinonimkan dengan kesebelasan. Sindhunata berharap agar Gus Dur dapat membentuk "kesebelasan" yang bisa memberi lagi kebahagiaan bagi segenap masyarakat Indonesia.
Salah satu bagian tulisan yang menarik bagi saya adalah ketika Sindhunata berusaha mendorong Gus Dur sadar bahwa sebagai "pelatih", ia tidak perlu tahu dan ahli dalam segala-galanya. Para pemain-lah yang harus mengetahuinya. Tugas Gus Dur adalah seperti yang dibuat oleh Matt Busby, pelatih legendaris Manchester United, yakni menciptakan a home, a human place bagi para "pemainnya".
Para "pemainnya" harus merasakan dan selalu menimba inspirasi darinya untuk melakukan segala tugas dan kewajibannya. Sifat yang hangat dan sederhana harus menjadi ciri dari kepemimpinan dengan nilai-nilai tersebut. Saya akhirnya berusaha mengambil sedikit sari dari pesan ini. Kepemimpinan itu bukan nampak dari seberapa besar kekuasaan yang dapat direngkuh, tetapi seberapa banyak nilai yang ditunjukkan. Kekuasaan tidak kekal, tetapi nilai-nilai itu akan abadi.
Menciptakan "a home, a home place" ala Matt Busby.
Sindhunata tidak salah menyebutkan Matt Busby sebagai panutan dalam pesan-pesannya. Meski sepak bola modern sekarang lebih mengenal Alex Ferguson sebagai pelatih MU paling berhasil, tetapi sejarah mencatat bahwa Matt Busby telah meninggalkan nilai-nilai berharga demi kejayaan Manchester United.
Lahir di Orbiston, Skotlandia pada 26 Mei 1909, Busby bukanlah pemain natural Manchester United, tetapi dia bermain bagi para rival, Manchester City dan bahkan menjadi Kapten Liverpool. Setelah pensiun bermain pada tahun 1944, Busby ditawari pekerjaan sebagai asisten pelatih di Liverpool. Tetapi Busby menolak karena manajemen Liverpool tidak mau memberinya kendali penuh atas tim.
Busby "membelot", pada tanggal 19 Februari 1945 Busby menerima pekerjaan sebagai manajer di Manchester United (MU) yang saat itu sedang kosong. Herannya MU mempercayai Busby dengan memenuhi permintaan Busby untuk menjadi Direktur Klub. Tugas Busby bukan sekedar melatih.
Busby menunjukan karakter dimana dia dapat dipercaya. Dia menunjukan bahwa jika klub mau maju, jangan takut untuk membuat perubahan. Dari segi administrasi, Sir Busby mengubah kebiasaan manajemen sepak bola bukan hanya di Manchester United tetapi juga di Inggris.
Ia menjadi pelatih pertama di Inggris yang menuntut kebebasan penuh dari pemilik maupun pengelola klub untuk bisa membeli dan menjual pemain yang diinginkan, mengatur program latihan sendiri, dan memilih pemain yang diturunkan di pertandingan.
Busby membuktikan bahwa dengan kepercayaan penuh tersebut dia dapat berbuat banyak. Busby membayar kepercayaan para direksi klub dengan mengantar MU ke posisi kedua liga pada tahun 1947, 1948 dan 1949 dan memenangkan Piala FA pada tahun 1948.