Lihat ke Halaman Asli

Arnold Adoe

TERVERIFIKASI

Tukang Kayu Setengah Hati

Sepenggal Cerita Anak Penjual Koran di Kota Kupang

Diperbarui: 27 April 2017   01:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa Cita-citamu Dino. Penjual Koran anak di Kota Kupang/ Dok. Pribadi

Dino pung (punya) cita-cita apa?” tanya saya untuk kesekian kali dan dibalas dengan ekspresi yang sama tanpa jawaban. Dino membalas pertanyaan itu dengan tersenyum, mengaruk-garuk kepala dan menjaga agar koran dan tabloid yang dia genggam jangan jatuh. Dino adalah seorang anak yang menjajakan koran di malam dingin Kota Kupang.

“Koran ko om?” tawar Dino kepada beberapa orang yang sedang menyantap sup ubi di salah satu kedai pinggir jalan kota kupang. Waktu sudah menunjukan hampir pukul 10 malam. Beberapa reaksi diterima Dino. Ada yang mengangkat tangan tanda tak tertarik, ada yang berpura-pura tak mendengar tawaran Dino dan ada yang sekedar mengangkat alis. Dino berbalik badan dan kembali berjalan pelan menyusuri jalanan Kota Kupang.

Saya kebetulan sedang membayar makanan yang saya santap di tempat itu. Dino jelas menarik perhatian saya. Bagi saya Dino benar-benar sedang menjual koran. Ada plastik putih yang dia siapkan untuk menyimpan koran dan tabloid yang dia jual agar tetap rapi dan bersih. Selain itu, Dino bukanlah penjual koran yang  peminta-minta dan penuntut. Dia tidak memaksa, menuntut hingga terlihat mengganggu calon pembelinya, seperti yang sering saya temui. Senyum tetap terlihat di wajahnya, meski jualannya tak dibeli.

“Ade..ade..” panggil saya pelan sesudah berhasil menyusulnya. “Berapa harga lu pung (punya) koran’ tanya saya. “Tiga ribu om” jawab Dino sambil cepat mengeluarkan koran yang masih rapi terlipat. “Belum pulang?” tanya saya lagi. “Belum…” jawab Dino sambil merapikan koran dan tabloid yang lain.

“Lu pung nama sapa?” tanya saya, sambil merogoh uang di saku celana. “Dino…” jawabnya singkat. “Lu sekolah ko sonde?” tanya saya lagi. “Sekolah om, kelas 6” jawab Dino lebih lengkap. Kali ini dia juga ikut duduk di trotoar di depan gedung megah bank daerah di salah satu sudut Kota Kupang. Mungkin dia sudah cukup lelah berjalan berjualan koran.

Setelah itu kami asyik bercerita. Dino dengan terus terang mulai bercerita tentang aktifitas dia setiap hari. Setelah bangun pagi, Dino akan pergi ke sekolah. Sesudah pulang dari sekolah sekitar jam 12 atau jam 1 siang, Dino akan beristirahat dulu di rumah. “Bermain?” ingin tahu saya. “Tidur siang om” jawabnya singkat.

Sesudah itu sekitar jam 4 Dino akan bangun dan makan. Jam 5 sore ayahnya akan mengantarkan dia ke wilayah dimana dia biasa berjualan koran. “Bapakmu kerja apa Dino? tanya saya. “Penjual koran juga” jawab Dino. Dino bercerita, bapaknya akan menjemput dia setelah bapaknya juga selesai menjual koran. "Mama?' tanya saya ingin tahu. "Mama membantu mencuci baju dan menyetrika pakaian tetangga" cerita Dino lagi.

“Tidak iri dengan anak-anak lain yang bermain dan tidak menjual koran?” tanya saya kali ini. Saya tahu pertanyaan saya ini terlalu serius untuk anak yang baru berusia 12 tahun seperti Dino. Tetapi entahlah, Dino yang selalu tersenyum ini, membuat saya merasa “pantas” untuk bertanya pertanyaan seperti ini.

Dino kali ini tidak langsung menjawab. Malahan tangannya mulai memegang batu kecil dan menuliskan sesuatu seperti ingin mengalihkan perhatian saya agar tidak harus menjawab. Dino terus terdiam. “Pelajaran apa yang paling kamu sukai di sekolah?” belok saya yang mengerti bahasa tubuh Dino. “Matematika” kali ini Dino cepat menjawab dan terlihat sangat antusias. “ 2 x3 berapa” tanya saya. “enam..”jawab Dino cepat. “3 x6” berapa? tanya saya lagi. “delapan belas” jawabnya cepat. “Pintarrr..” puji saya yang dibalas Dino dengan tersenyum. Meskipun Dino masih ingin dan antusias menunggu pertanyaan lain dari saya, namun saya tentu tidak ingin terlalu berlebih lama untuk menanyakan pertanyaan seperti seorang guru. Haha.

Dino masih terus bercerita hal yang lain. Dino berkisah tentang diperbolehkannya dia untuk membelanjakan uangnya  sekedar membeli gorengan jika lapar dan ingin. “Bapakmu sonde (tidak) marah?” tanya saya. “Sonde ..malahan jika untung banyak dan ada uang lebih, bapak suruh tabung di celengan” cerita Dino senang. Ah…

Beberapa tahun terakhir, penjual koran anak di Kupang sempat dihubungkan dengan sindikat yang mempekerjakan anak. Hal itu membuat stigma negatif muncul ketika melihat anak-anak penjual koran yang berkumpul di persimpangan lampu merah untuk menjual koran. Rasa kemanusiaan “sedikit’ berkurang karena stigma yang lebih dulu melekat ini. Jika harus membeli dan membantu, sebagian besar bukan karena iba tetapi terpaksa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline