Lihat ke Halaman Asli

Arnold Adoe

TERVERIFIKASI

Tukang Kayu Setengah Hati

Cerita dari Hoiledo, Kehangatan dari Kampung Kecil di Rote

Diperbarui: 8 Maret 2017   12:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memancing di Hoiledo/dokpri

Ya..Tuhan binatang apa ini?” teriakku dalam hati sambil mengibaskan bantal penghias kasur di tengah malam. Malam itu kepala saya digerayangi sesuatu yang bergerak. Lampu, langsung kunyalakan. Kukibaskan lagi bantal dan beberapa buku yang berserakan dari atas kasur yang langsung menempel ke lantai itu.

Kepiting….!!” kagetku sambil mulut tetap tetutup rapat, karena tidak mau mengganggu tidur lelap seisi rumah dimana aku menumpang. Kurang lebih dua ekor kepiting terlihat menyusup takut di balik lemari kayu jati di dalam kamar.

Pengalaman yang membuatku sempat berpikir untuk lekas pergi dari Hoiledo, kampung kecil di Pulau Rote, Pulau terselatan Indonesia itu. Malam itu adalah malam kedua saya menginap di sana, masih tersisa 28 malam lagi saya di sana untuk berbagi ketrampilan kerja sebagai seorang instruktur.

Wah…tadi malam ada kepiting menggangguku di kamar” ceritaku pada beberapa orang siswa pelatihan besoknya, ingin memohon iba belas kasihan dengan solusi. “ Ah…mungkin itu pertanda tidak baik pak” jawab beberapa orang sambil tersenyum. “Wah..yang benar?” jawabku tidak yakin. Mereka langsung tertawa.

Mereka lalu mencoba menjelaskan, bahwa tidak jauh dari rumah yang saya tinggali itu memang ada sebuah kali kecil yang airnya sudah mulai mengering. Kepiting-kepiting air tawar berukuran sedang itu diduga masuk rumah penduduk untuk mencari air untuk bertahan hidup. “Ohh..begitu ya” sahutku senang akan penjelasan semi ilmiah tersebut. Walaupun sebenarnya masih heran, mengapa hanya mau berkunjung ke kamarku.

Bersama keluarga Fanggidae/dokpri

Ah, lupakan soal kepiting itu. Karena setelah itu, 28 hari selanjutnya di Hoiledo berisi penuh dengan pengalaman menarik. “Malam…pak guru masih bangun?” samar-samar kudengar ada orang yang bertanya pada bapak Minggus Fanggidae, sang tuan rumah yang malam itu belum terlelap dan  “nongkrong” dengan pintu rumah yang terbuka karena udara sangat panas.

Sepertinya belum tidur….” jawab bapak Minggus yang melihat cahaya lampu dari kamar yang menyelinap keluar dari balik pintu. Sudah jam 11 malam. Saya memang belum tidur. Ada beberapa bahan mengajar yang harus disiapkan malam itu. “Pak guru..ada tamu” ketuk pelan pintu dari bapak Minggus. “ Iya..pak” jawab saya, lalu lekas keluar.

Kaka Wadson dan Kaka Johan terlihat berdiri menunggu di depan pintu. ‘Kaka”, begitu saya memanggil mereka, karena usia mereka yang jauh lebih tua. Mereka adalah dua orang siswa kelas pelatihan saya.

Hei..kaka, karmana?” tanyaku. “Begini pak guru, kami tadi dapat ikan napoleon kecil dan kerapu karang..kalau pak guru mau, kita makan bersama malam ini, mumpung masih segar” tawar mereka yang agak ragu apakah saya bersedia atau tidak.

Sebagai instruktur latihan kerja yang masih belum cukup berpengalaman, saya teringat akan sebuah nasihat berharga. Jika ingin ilmumu bisa diterima dengan baik di desa atau kampung, jadilah bagian dalam hidup mereka. Bukan di dalam kelas tetapi juga di luar kelas. Saya memang selalu menggunakan itu, dan nasehat itu memang terbukti berhasil.

Iya..ayoo” jawab saya. Mereka langsung tersenyum. Malam itu kami habiskan untuk membakar ikan tersebut dengan cerita-cerita tentang kehidupan sehari-hari.

Hoiledo itu adalah kampung yang tak jauh dari laut. Pekerjaan masyarakat pada umumnya berkebun, bertani dan juga sebagai nelayan. Kaka Wadson dan kaka Johan adalah dua orang nelayan. “Laut sedang tida bae pak guru, jadi kita memancing dari pinggir malam ini, bersyukur dapat ikan yang enak pak guru” cerita kaka Wadson tentang bagaimana mereka mendapat ikan bakar itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline