Rasa keingintahuan terhadap hal-hal yang belum diketahui membawa saya ke Nusa Manuk, pulau kecil di ujung selatan Indonesia, di Rote NTT. Selagi di sana, saya dan teman berjalan-jalan menikmati pantai ciri keindahan Pulau yang berarti Pulau Ayam ini.
Rasa ingin tahu itu terkadang menantang. Termasuk berkorban untuk setia menunggu. Langit biru tak berawan banyak menjanjikan sore berangin tanda perahu akan terbantu tetapi tentu ombak akan terasa terlalu akrab, malahan terlalu nakal. Sebenarnya siang tadi si ombak masih tenang beristirahat tetapi sayang dia tidak menghampiri perahu kecil kami untuk menawarkan undangan ke sana. Surut.
Akhirnya, pukul 3 Sore. Nusa Manuk seperti mengundang kami untuk segera ke sana dari jarak 3 Km dari Pantai Batutua di Kampung Kecil di Rote bagian Barat Daya. “Ayo, mari su (sudah), kalo son (tidak) mau lama-lama di sana” ajak si tuan perahu yang rela mengantarkan kami hanya dengan balasan mengisi bensin 5 liter dan sebungkus rokok.
Walaupun harus mendorong perahu untuk tidak malu-malu bergelayut dengan air asin. Akhirnya kami berangkat. Jangkar sudah diangkat, mesin tua tunggal mulai berbunyi sangar tanda perahu berangkat. Nusa Manuk kami datang.
Perahu kecil ini terisi delapan orang. Sebagai orang darat dengan status undangan. Saya lagi bertugas melatih masyarakat di Batutua. Saya pergi bersama enam orang warga Batutua yang kebetulan sebagian besar menjadi siswa saya. Saya harus sigap memperhatikan cara berlaku mereka di atas perahu. Jika tuan-tuan rumah ini duduk rapi di atas perahu, maka hanya ada dua kemungkinan. Perahunya terlalu kecil atau gelombang akan besar di setengah perjalanan. Sayang, dua kemungkinan itu menjadi nyata tanpa menyisakan satu diantaranya.
Dalam keheningan perjalanan. Hampir 45 menit . Entah apa yang dipikirkan oleh masing-masing orang. Hening itu pecah ketika perahu memasuki 200 meter terakhir waktu akan bertambat di Nusa Manuk. “Lompat-lompat” seru beberapa orang diantara mereka.
Empat diantaranya sudah berada di air laut biru yang silau karena memantulkan sinar sang surya yang mulai kelelahan. “Teripang..teripang” teriak salah satu di antara mereka. Empat orang pencari teripang kami tinggalkan ketika perahu mulai melambat dihambat rumput laut liar di bibir pantai. “Ayo pak, makan” tawar kaka tian, orang yang paling tua di antara kami seraya siap menghancurkan teripang dengan batu kapur. “ Terimakasih” jawab saya ramah, sambil bertanya-tanya, makhluk apa lagi ini. Teripang jenis yang ditawarkan ini berbentuk kayak batu, bisa juga kayak ulat bulu yang rontok bulunya karena kegemukan. Jujur saya belum pernah memakannya, apalagi mentah begini.
“Ayo pak..makan. Sehat ” tawar kaka tian lagi. Kali ini saya tidak menjawab, sambil berpura-pura mencari sandal hijau Jepit Jepang saya yang entah kemana. Sebuah penolakan yang halus sebenarnya.
Nusa Manuk, kami akhirnya sampai. Jangkar sudah dilempar sejak beberapa waktu lalu. Beberapa Perahu milik Nelayan lokal sudah diikat dengan rapi. Beristirahat karena malam baru bergegas bekerja lagi. Menangkap ikan. Beberapa orang tua sepertinya sudah menunggu kami dipinggir pantai. Entah karena sudah di kabari, atau karena mereka memang mempunyai kebiasaan seperti itu.
Pulau ini sederhana. Sederhana karena bukan saja hanya dihuni 30 Kepala Keluarga (KK) tetapi Pulau ini juga tidak mempunyai pasokan listrik. Energi Surya dengan perangkatnya menjadi bantuan yang sudah dimakan usia dan “sakit” karena tanpa pemeliharaan yang cukup memadai.
Anak-anak kecil berlarian menyambut kami seperti mengakrabkan diri, mungkin menghabiskan waktu dan tenaga karena pasti ketika pulau ini menjadi segelap-gelapnya mereka harus terlelap karena tidak ada yang dapat dilakukan oleh anak seusia mereka.