Lihat ke Halaman Asli

Arnold Adoe

TERVERIFIKASI

Tukang Kayu Setengah Hati

Instruktur Disabilitas yang Justru Malah Dapat Pelajaran Hidup

Diperbarui: 15 September 2016   16:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbagi bersama Disabilitas (dok pri Arnold)

“Selamat datang di bengkel kami. Tempat ini akan menjadi rumah kedua bagi teman-teman selama pelatihan,” sapa saya ramah sebagai tuan rumah. Dua puluh orang siswa membalas dengan sikap bersahabat. “Sebuah awal yang baik dari sebuah pertemuan,” pikir saya dalam hati

Sebagai instruktur latihan kerja, ini adalah kedua kalinya saya berkesempatan mengajar dan melatih mebel kepada teman-teman penyandang disabilitas. Jika pada kesempatan pertama saya terpaksa harus meninggalkan karena bertugas ke luar kota, maka kali ini saya bersempatan secara penuh melatih mereka dari awal hingga akhir.

Walaupun sudah menjadi rutinitas bagi kami mengajar dan melatih, tetapi tentu ada sedikit kekhawatiran ketika melatih penyandang disabilitas. Kekhawatiran tentang tingkat disabilitas yang tidak cocok dengan konsep pelatihan dan khawatir tidak bisa 'menentramkan' dan membuat teman-teman disabilitas merasa 'at home' selama mengikuti pelatihan membayangi kami.

Namun kisah mengajar dan melatih penyandang disabilitas kali ini menjadi cerita paling berkesan bagi saya dan teman-teman instruktur selama mengajar dan melatih sebagai instruktur balai latihan kerja di Kupang. Terutama ketika mengingat tentang cerita inspiratif ketiga orang siswa kami ini Tobi, Om Minggus dan Om Nadus.

Tobi dan Mesin Bubut Kayu
Antusiasme untuk belajar menjadi persoalan yang sering saya temui ketika melatih siswa yang normal. Tetapi ini berkebalikan dengan yang saya lihat pada siswa difabel. Seorang siswa bernama Tobi menjadi contohnya.

Dari awal saya sudah mendesain agar Tobi 'cukup' menjadi seorang tukang finishing yang hebat dikarenakan kekurangan fisiknya. ”Dia cukup menjadi ahli amplas kayu yang hebat,” begitu kata saya pada seorang teman instruktur ketika kita mendesain kemampuan diharapkan dipunyai Tobi di akhir pelatihan.

Tobi dan Mesin Bubut (dok pri Arnold)

Disabilitas Tobi dikategorikan sebagai Tuna Daksa. Tangan kanannya tidak mempunyai kekuatan penggegam karena kelainan dari lahir. Tangan kirinya masih lebih baik walaupun tidak terlalu kuat pula.

“Pak Arnold, saya bisa mencoba untuk membubut kayu?” tanya Tobi kepada saya ketika pelatihan telah memasuki minggu ketiga. “Ooo…mau?” spontan jawab saya sambil berpikir cara menjelaskan bahwa membubut kayu itu cukup sulit. Apalagi mengingat keterbatasan fisiknya. Bagaimana caranya dia memegang pahat bubut ya? tanya saya dalam hati.

Saya lalu berdiskusi dengan Om Okto, instruktur senior mengenai keinginan Tobi dan faktor keamanan kerja atau biasa disebut K3. Setelah sepakat saya pun mengijinkan Tobi. “Ayo…,” ajak saya pada Tobi. Terlihat mata Tobi berbinar terang melihat ajakan yang langka ini. Selama mencoba membubut, Om Okto setia mendampingi Tobi. Tobi terlihat serius dengan 'job' barunya. Setelah 20 menit mencoba, Tobi mengucapkan terimakasih untuk pengalaman baru yang menarik di hari itu. "Asyik, Pak..," simpul Tobi tentang pengalaman barunya itu senang.

Sesudah itu saya berdiskusi empat mata dengan Om Okto mengenai Tobi. “Dia mempunyai feeling yang cukup bagus mengenai bubut. Sayang tangannya…” nilai Om Okto.“ Suatu saat kita coba buat alat bantu, atau kita coba cari alat untuk bisa membantu orang seperti Tobi, Om Okto,” balas saya mantap.

Tobi membuka mata kami semua bahwa keterbatasan fisik seharusnya tidak membuat seseorang takut untuk mencoba atau belajar hal yang baru. Walaupun hasilnya tidak sempurna, tetapi Tobi ingin menyampaikan bahwa kebahagiaan telah melalui pengalaman baru dengan berani mencoba jauh lebih berharga dari bagaimana hasilnya. Good Job Tobi!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline