Pulau Alor, sebuah Pulau di Kabupaten bernama sama di NTT memang sudah lama dikenal karena buah kenari yang membuatnya dijuluki Nusa Kenari. Tetapi bukan Kenari saja yang membuat Alor menjadi tujuan wisatawan dalam dan luar negeri. Pantai pasir putihnya yang indah dan destinasi wisata lain juga menawarkan pengalaman berbeda dan takkan terlupakan.
“Kalau ke Alor tapi tidak mengunjungi Takpala, seperti makan sayur tanpa garam” begitu promosi teman saya mengenai sebuah Desa Tradisional. Saya langsung penasaran mengenai desa ini karena ingin mencari pengalaman berbeda berkunjung ke sebuah kampung yang masih menawarkan kearifan lokal dan etnis daerah yang masih kental.
Oleh karena itu, baru hari kedua setelah saya mendarat di Bandara Mali, Kabupaten Alor, NTT saya bersikeras untuk mencari jalan untuk bisa ke Desa bernama Takpala ini. Sebagai tambahan informasi, jika anda berada di luar NTT maka anda harus transit dulu di Bandara El Tari, Kupang baru bisa ke Alor. Harga tiketnya kisaran 300 hingga 400 ribu rupiah. Sangat murah dibandingkan banyaknya destinasi wisata yang bisa kita temui di pulau ini.
Saya sangat beruntung karena ada beberapa sahabat yang kebetulan tinggal di Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor yang sungguh rela untuk mengantar saya ke Takpala. Dari Kalabahi kurang lebih kita membutuhkan waktu 30 menit untuk sampai ke Desa Takpala.
Desa Adat Takpala terletak di dataran tinggi. Setelah sampai ke kaki desa, kita masih harus memarkir kendaraan kita lalu melanjutkan perjalanan masuk ke desa dengan berjalan kaki. Di depan desa ada sebuah papan nama yang menjelaskan dengan singkat mengenai kampung tradisional tersebut. Ternyata Takpala sudah dinyatakan menjadi desa adat yang dilindungi sejak tahun 1992. Artinya, segala aktivitas desa ini baik fisik maupun non fisik tetap mempertahankan budaya atau tradisi yang kuat.
Walapun dikatakan Tradisional, jangan kuatir karena orang-orang di Kampung Tradisional ini sangat ramah. Sesudah melewati papan nama, belum hitungan menit, kita langsung disambut senyuman oleh seorang lelaki Alor bernama Marthin. Selain sebagai warga asli Takpala yang menjalankan aktivitas sehari-hari, Martin juga dikenal memandu wisatawan atau biasa disebut guide. "Kaka Martin ini juga seorang Fotografer" kata teman saya, kaka Yosi yang sering mengantar tamu ke desa ini.
Sebagai pemandu, Martin akan menjelaskan segala hal berkaitan dengan desa ini. Martin pula yang menjelaskan kepada saya bahwa suku yang mendiami Takpala adalah suku Abui. Abui sendiri berarti orang gunung, mungkin menjelaskan tentang Takpala yang berada di dataran tinggi.
“Bapak ingin mencoba baju adat kami” tawar Martin. Saya langsung antusias untuk mengiyakan tawaran ini karena banyak teman bercerita pengalaman sekejap menjadi “orang Alor” dengan mengenakan pakaian adat Suku Abui di Desa Takpala. Setahu saya ada dua pakaian adat, pakaian adat untuk acara adat dan pakaian perang.
Pakaian yang dipilih Martin untuk saya pakai adalah pakaian untuk berperang. Pakaian ini lengkap dengan busur dan anak panahnya. Perlu sekitar 30 menit bagi Martin untuk mengenakan pakaian ini di tubuh saya setelah sebelumnya saya diajak ke sisi luar rumah adat agar tersembunyi. Ternyata belum ada ruangan ganti di Takpala. Haha. Untuk berpakaian adat seperti saya kita hanya membayar 50 ribu rupiah.
Setelah berpakaian, Martin tidak lepas tangan. Martin juga akan memeragakan bagaimana seorang pria perkasa Abui berlaku layaknya berperang atau melepaskan anak panah dari busur. “Ekspresinya kurang pak” begitu kata Martin berulang-ulang mengingatkan ekspresi saya yang masih kurang “klop” dengan gaya memanah saya. Jujur, menarik anak panah itu susah, apalagi memastikan tepat sasaran. Haha. "Ah, yang penting sensasinya dapat" hiburku dalam hati.
Setelah selesai sesi "berperang", maka dilanjutkan dengan sesi keliling-keliling rumah adat di Takpala. Sayang, waktu itu masih banyak rumah yang kelihatan kosong dan tidak berpenghuni. "Kebanyakan masih berkebun" jelas Martin. Ya, kebanyakan pria Takpala menghabiskan hari mereka dengan berkebun dan berburu.