Deflasi dan Depresi
Yang mencemaskan biasanya jika terjadi kenaikan harga barang dan jasa yang dikonsumsi atau disebut inflasi. Inflasi dapat disebabkan kenaikan permintaan (demand) sementara persediaan (supply) terbatas atau jika terjadi kenaikan pada komponen biaya (cost) misalnya bahan mentah (raw material), upah (wages), atau biaya logistik. Inflasi bukan hal yang buruk karena akan meningkatkan pendapatan (income) sehingga perusahaan dapat menambah upah bagi pekerja. Dengan tambahan upah akan meningkatkan permintaan.
Berbeda jika harga mengalami penurunan yang berkelanjutan pada waktu lama atau disebut deflasi. Siklus deflasi dimulai dengan kelebihan persediaan (supply) yang berlanjut dengan penurunan harga dan seterusnya menekan pendapatan dan keuntungan. Akibat pendapatan berkurang maka perusahaan akan melakukan pengurangan produksi dan menekan biaya dengan melakukan pengurangan tenaga kerja dan menghindari penambahan pekerja baru. Dengan berkurangnya tenaga kerja yang menerima upah, daya beli turun dan permintaan secara agregasi akan berkurang sehingga menimbulkan kelebihan persediaan. Siklus deflasi dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Sebagai upaya menanggulangi turunnya pendapatan (2), kebijakan menekan biaya termasuk meniadakan investasi (3); dengan melakukan pengurangan tenaga kerja (4) yang berdampak pada penurunan permintaan. Fenomena ini merupakan bagian dari “Balance Sheet Recession” yang berimplikasi depresi perekonomian dan lanjutannya adalah kondisi resesi atau turunnya pertumbuhan.
Kondisi serupa dialami perekonomian dunia dengan terjadinya penurunan harga komiditi secara berkepanjangan dan dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Negara-negara yang pendapatannya bergantung pada ekspor komiditi, termasuk Indonesia, akan mengalami tekanan deflasi. Dampak besar juga terjadi akibat penurunan harga minyak mentah pada negara pengekspor misalnya Rusia, Venezuela, Nigeria. Untuk mengupayakan penurunan pendapatan, sementara persaingan harga terus berlangsung, cara yang dilakukan adalah mendevaluasi mata uang. Ternyata strategi devaluasi dilakukan banyak negara sehingga timbul persaingan atau peperangan devaluasi mata uang yang disebut “Currency Wars”.
Fenomena Dolar Amerika Super Kuat
Pasca Krisis Keuangan 2008, The Fed Amerika (USA) mengeluarkan kebijakan Quantitative Easing yang berupa pelonggaran moneter dengan menurunkan suku bunga acuan menjadi sangat rendah. Dengan kebijakan tersebut, perekonomian Amerika menjadi pulih; korporasi Amerika berhasil meningkatkan pendapatan dan bertumbuh sehingga menambah lapangan kerja. Sejalan dengan pertumbuhan perekonomiannya, The Fed akan segera menormalisasi kebijakan dengan menaikkan suku bunga acuan. Akibatnya, dana USD yang tersebar di luar akan tergoda untuk dipindahkan ke Amerika yang menjanjikan imbalan dengan risiko kecil. Dampak rencana kenaikan suku bungan acuan ini ditambah dengan devaluasi mata uang seperti dijelaskan di atas membuat USD menjadi pilihan utama atau menjadi Super Kuat. Hal ini berlangsung terhadap mata uang kuat seperti Euro, Dolar Kanada, Singapore, Australia dan dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Penjelasan. BRICS : Brazil, Rusia, India, China, South Africa. Khusus China, kurs tukar USD – CNY dibatasi (pegging) tidak kurang dari CNY 6 (Cina Yuan) untuk setiap USD 1.
Catatan. KRW : Korean Won, AUD : Dolar Australia, CAD : Dolar Kanada.