Untuk mencapai tujuan Bandung dari Jakarta dengan menggunakan kendaraan, waktu tempuh perjalanan (T) bergantung pada kecepatan (V). Andaikan tidak menghadapi kemacetan dalam perjalanan, dengan rerata kecepatan 60 KM per jam dan jarak Jakarta - Bandung 180 KM, maka waktu tempuh yang normal adalah 3 jam. Tetapi jika ini mencapai Bandung dalam 2 jam, butuh percepatan atau akselerasi pada kendaraan hingga rerata kecepatan kendaraan mencapai misalnya 90 KM per jam. Kondisi demikian membutuhkan daya pacu besar; tetapi juga berdampak tambahan konsumsi bahan bakar. Pola pemikiran demikian sepertinya menjadi "beat" atau tempo yang digunakan pemerintah dalam penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diukurkan berdasarkan PDB (Produk Domestik Bruto) dan pemerataan pendapatan.
Agar dapat memahami peran dan kapasitas belanja pemerintah, diberikan gambaran dengan pembanding pada peraga berikut.
Peraga-1 : Rasio Penerimaan Pajak dan Belanja Negara - G20
Sumber informasi : Government Spending & Tax Revenue (dengan pengolahan)
Rerata belanja pemerintah terhadap PDB dalam kelompok G20 adalah 38,8%; dengan rasio penerimaan pajak terhadap PDB 28,8%. Sementara belanja pemerintah Indonesia kurang dari 20% (hanya 16%) dengan rasio penerimaan pajak (2016) di bawah 11%.
Peraga-2 : Rasio Penerimaan Pajak dan Belanja Negara - ASEAN
Pada kelompok ASEAN, rerata rasio belanja pemerintah terhadap PDB berada pada 22,5% dengan rasio penerimaan pajak sekitar 14,5%.
Merujuk perbandingan pada kelompok G20 dan memperhatikan pola India dan Tiongkok yang tumbuh di atas 6%; serta kawasan ASEAN, rasio belanja pemerintah terhadap PDB selayaknya berada pada tingkatan 20%-25%.
Dalam situasi pemerintah memilih kebijakan stimulus anggaran, peningkatan rasio belanja terhadap PDB pasti berdampak pembengkakan defisit anggaran. Permasalahannya pada rasio penerimaan pajak yang hanya pada kisaran hampir 11%; di sinilah lantas muncul Trilema (pilihan sulit dari tiga pilihan) yang melibatkan Infrastruktur, Investasi, dan Income atau Pendapatan. Pemerintah berupaya menggiatakan pembangunan infrastruktur tetapi kondisi fiskal terbatas; sementara skema KPBU (Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha) atau PPP (Public Private Partnership) masih belum menarik bagi investor. Minat investasi masih rendah terutama akibat daya beli turun dan aliran dana investasi Penanaman Modal Asing (FDI : Foreign Direct Investment) lebih banyak menuju negara maju (advanced countries). Sementara penanaman modal dalam negeri (PMDN) masih rendah akibat swasta lebih berupaya membereskan neraca akibat lonjakan utang. Situasi ini mengakibatkan pendapatan tenaga kerja berkurang; demikian juga dunia usaha; implikasinya daya beli turun dan penerimaan pajak akan tertekan. Kondisi ini bak spiral yang akan berlanjut.
Demi meningkatkan penerimaan negara, Bendahara Umum Negara atau Menteri Keuangan masih berkeinginan dan mengharapkan tuah dari implementasi pelaksanaan pertukaran data informasi perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI). Upaya mengeliminasi pengelabuan dan penggelapan pajak (tax evasion) akan membutuhkan proses panjang dan berliku. Juga cenderung menimbulkan kecemasan bagi dunia usaha yang berakibat produktivitas dan kegiatan turun.
Target pertumbuhan 2018 pada besaran 5.4% dengan batasan defisit 2,19%. Dengan batasan demikian, faktor input yang menjadi pendongkrak sangat terbatas sehingga output berupa akselerasi peningkatan pertumbuhan serta pemerataan pendapatan juga akan minimal. Kalau merujuk pada peribahasa : "Ibarat menggantang asap mengukir langit".
Arnold Mamesah - 18 Agustus 2017