Potret Moneter dan Perbankan
Dilihat dari indikator utama, kondisi moneter Indonesia dapat dikatakan menggembirakan. Trend inflasi turun dan diprediksi inflasi tahunan 2016 berada di bawah 3%. Nilai tukar mata uang Rupiah terhadap mata uang utama asing terutama Dolar Amerika (USD) mengalami apresiasi; bahkan Bank Indonesia perlu melakukan intervensi agar penguatan tersebut tidak menjadi ancaman bagi ekspor Indonesia. Suku bunga acuan (BI Repo Rate) sudah di bawah 5% dan jika dihitung dari awal 2016 turun dari 7,5% menjadi 4,75%. Cadangan devisa per akhir September 2016 terus bertambah dan posisi terakhir jumlahnya USD 115,671 Miliar.
Dalam kondisi moneter demikian, situasi perbankan nasional justru berbeda. Suku bunga kredit masih tinggi alias "double digit" di atas 10%; pertumbuhan kredit "single digit" bahkan berada dalam rentang 6-7%; indikator lain yang juga mengancam adalah NPL (Non Performing Loan). Gambaran indikator tersebut diberikan pada peraga berikut ini.
Sumber informasi : Koran Bisnis Indonesia
Kondisi NPL lantas dianggap sebagai penyebab perbankan enggan menurunkan suku bunga kredit selain pertimbangan faktor resiko. Faktor "counter cycles" yang menyebabkan suku bunga kredit tinggi adalah "idle fund" alias dana mengendap yang tidak berputar akibat rendahnya ekspansi kredit; ditambah lagi dengan aliran dana repatriasi sejalan dengan program Tax Amnesty. Perbankan sendiri sepertinya masih menginginkan NIM (Net Interest Margin) yang tinggi agar kinerja dinilai baik. Dengan memperhatikan formula sederhana BOPO (Beban Operasional Pendapatan Operasional), sepertinya ada "hidden cost" selain pencadangan terhadap NPL dan NIM yang menyebabkan suku bunga pinjaman masih enggan turun. Tetapi apakah jika suku bunga kredit menjadi single digit akan menjamin dunia usaha (korporasi dan UMKM) meningkatkan pinjaman ?
Fenomena Resesi Neraca dan Bayar Utang
Berbagai upaya melalui kebijakan stimulus moneter yang dilakukan ternyata masih belum berhasil untuk mendorong pertumbuhan kredit. Pertumbuhan kredit "single digit" menunjukkan pertumbuhan investasi rendah dan mengancam pertumbuhan ekonomi di masa mendatang; khususnya pada penyerapan tenaga kerja dan tekanan pada sisi permintaan. Sementara turunnya permintaan akan menekan pendapatan dunia usaha dan berdampak spiral deflasi; yang berlanjut dengan upaya penghematan sebagai jalan keluar bagi dunia usaha dan salah satunya melalui pengurangan tenaga kerja. Kondisi moneter demikian dikenal sebagai Liquidity Trap atau Secular Stagnation; juga dialami negara-negara di kawasan European Union serta Jepang. Dengan suku bunga yang sangat rendah mendekati Nol, masih belum berhasil meningkatkan permintaan pada sektor konsumsi dan investasi sehingga inflasi sangat rendah bahkan menuju deflasi (atau inflasi negatif).
Mengapa dunia usaha khususnya korporasi dan UMKM enggan meningkatkan kredit ? Hal ini tidak lepas dari masalah Resesi Neraca (Balance Sheet Recession) yang dialami. Dalam kondisi tekanan akibat utang, dunia usaha lebih memilih berhemat dan menabung, mengurangi atau bahkan tidak melakukan pinjaman investasi kepada bank serta mengutamakan pembayaran utang agar mengurangi tekanan. Demi berhemat, dunia usaha akan mengurangi pengeluaran termasuk pada sisi beban tenaga kerja atau tidak melakukan penambahan tenaga kerja. Dengan tidak melakukan pinjaman investasi baru maka pertumbuhan dunia usaha akan lamban bahkan akibat penyusutan alat produksi produktivitas akan turun dan kembali menekan pendapatan dunia usaha. Paduan fenomena Liquidity Trap dan Resesi Neraca yang terjadi berbarengan membuat spiral deflasi berlangsung lama dan menimbulkan kondisi depresi ekonomi berkepanjangan.
Ekspansi Fiskal dan Tambah Utang
Berhemat dan bayar utang merupakan padanan dalam kondisi perekonomian tertekan; sementara boros dan tambah utang akan dianggap cara keliru. Jika dilihat dari komposisi PDB (Produk Domestik Bruto) berdasarkan pengeluaran, pangsa konsumsi masyarakat pada kisaran 55%, konsumsi pemerintah 10%, dan pembentukan modal tetap domestik (investasi dalam negeri) pada kisaran 32% dan lainnya dari sisi perdagangan luar negeri (ekspor dan impor). Dalam kondisi perekonomian global yang mengalami tekanan deflasi komoditas dan ekspor Indonesia masih sarat barang komoditas, sulit mengharapkan pertumbuhan dari perdagangan global. Upaya berharap pada aliran investasi asing (Foreign Direct Investment) masih seret dengan berbagai kondisi dalam negeri. (Lihat faktor-faktor dalam FDI di sini). Dengan kondisi demikian, upaya peningkatan pertumbuhan sangat bergantung pada inisiatif pemerintah melalui ekspansi fiskal.
Sejalan dengan kebijakan stimulus ekonomi yang sudah dipilih pemerintah, kondisi defisit anggaran merupakan kewajaran khususnya pada tekanan penerimaan melalui pajak. Penurunan penerimaan sejalan dengan kondisi dunia usaha yang juga mengalami tekanan. Tetapi tekanan penurunan penerimaan tidak harus berimplikasi pada ekspansi investasi pemerintah khususnya pada pembangunan infrastruktur.