[caption caption="https://goo.gl/images/X3IBP7"]
Artikel ini naratif tanpa grafik atau chart.
Kemitraan Yang Utama
Dalam edisi Juni 2016, majalah Forbes menampilkan artikel dengan judul : "The World's 100 Most Powerful Women". Kanselir Jerman Anita Merkel pada peringkat pertama; dua dari peringkat Top-10 merupakan nama yang sangat dikenal dalam "Global Monetary and Finance" yaitu Janet Yellen (peringkat-3, Chairwoman The Fed USA) dan Christine Lagarde (peringkat-6, Chairwoman International Monetary Fund). Dalam artikel : Apa Kata Dunia kalau Cekcok dan Berkelahi Terus?, tiga nama tersebut sudah dijabarkan kiprahnya di tingkat global. Dari daftar, hanya 3(tiga) nama berasal dari negara anggota Asean; dua dari Singapore (peringkat-30 dan peringkat-100) serta pada peringkat-37 ada nama yang sudah sangat dikenal yaitu Sri Mulyani Indrawati (SMI) yang saat ini menjabat Managing Director and Chief Operating Officer, The World Bank Group (sebelumnya sebagai Menteri Keuangan RI).
Menarik untuk memperhatikan kiprah SMI pada tingkat global; yang hangat adalah kaitannya dengan Undang-Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), juga transparansi informasi (Automatic Exchange of Information ) yang akan di-"enforce" dalam lingkungan OECD mulai 2018. SMI berkontribusi dalam bentuk pemikiran dan berperan walaupun tidak ditonjolkan. Dalam pertemuan tingkat global, Bretton Woods Committee, Washington, DC, United States, 27 Juni 2016, SMI menyampaikan sambutan dan dalam satu paragraf disebutkan : "In everything we do, we partner. We cannot do it alone"; bagian ini menjadi judul artikel.
Trend Baru Globalisasi
Fenomena "Leave EU" dalam opera Brexit, ibarat gugatan terhadap globalisasi perdagangan dunia. Demam Brexit masih terus melanda pasar saham dan pasar uang mengindikasikan kepanikan para "investor" (lebih tepat disebut spekulan) yang salah menduga hasil jajak pendapat Brexit. Kerjasama Ekonomi dan Perdangangan (Economic & Trade Partnership) ala European Union dianggap mengurangi bahkan menghilangkan kedaulatan dan kewenangan negara dalam menentukan strategi serta kebijakan. Sementara untuk lingkungan Asean, sejak 2016, Masyarakat Ekonomi Asean (Asean Economic Community) mulai bergulir.
Dalam kunjungannya ke USA pada Oktober 2015, Presiden Jokowi mengungkapkan minat kuat (strong intention) Indonesia untuk bergabung dengan TPP atau Trans-Pacific Partnership; sementara saat bertandang ke Eropa pada April 2016, Presiden Jokowi mengupayakan percepatan implementasi Indonesia - European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Rangkaian langkah memperkuat kemitraan merupakan bagian dari "partnering strategy" yang dimulai dengan kehadiran dalam pertemuan APEC di Beijing pada 8-10 November 2014. Demi peningkatan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang tidak hanya mengandalkan kemampuan sendiri tetapi membuka peluang untuk investasi dan mengembangkan perdagangan global dengan peningkatan kemampuan produksi serta perluasan pasar.
Dalam "new wave" globalisasi, kerjasama ekonomi regional tidak hanya berbasis pada kedekatan wilayah (spatial proximity) tetapi juga pada sinergi kepentingan yang saling melengkapi (complementary). Era perdagangan internasional tidak lagi berbasis pada Model Adam Smith yang mengutamakan "Absolute Advantage" atau Model Ricardian yang berbasis pada "Comparative Advantage" yang mengembangkan produksi berbasis kekayaan sumber daya alam atau "raw material" yang dimiliki. Sinergi dalam rangkaian "Supply Chain" produksi menjadi pertimbangan dalam mengembangkan produksi dengan memperhatikan Core-Periphery Model (yang diinisiasi Paul R. Krugman), diperkaya dengan pemahaman akan "Industrial Cluster" ala Michael Porter. (Lihat artikel : Ragu Atas TPP Bikin Tertinggal di Landasan). Dengan pola pemikiran demikian, bergabung pada salah satu "kerjasama ekonomi regional" menjadi keharusan dan pilihan terbaik adalah TPP.
Infrastruktur dan Finansial Global
Krisis Finansial 2008 sangat memukul perekonomian dan finansial global terutama pada negara maju. Pasca krisis memunculkan "norma baru" (New Norm) yaitu Zero Lower Bond atau (Very) Low Interest Rate; bahkan pada beberapa negara (Jepang, Swedia, Denmark) suku bunga negatif diberlakukan Bank Sentral negara demi mendorong kredit yang akan meningkatkan konsumsi. Kondisi tingkat inflasi rendah (atau bahkan deflasi) menjadi ancaman serius pertumbuhan usaha. Dalam trend kebijakan suku bunga (sangat) rendah dengan variasi Kebijakan Uang Mudah dan Murah, masih belum berhasil mengangkat konsumsi dan pertumbuhan dunia usaha. Sehingga pilihan lain atau alternatifnya investasi perlu diarahkan pada sektor yang berwawasan jangka panjang yaitu Infrastruktur (Lihat artikel : Cheap Money Talks - Paul Krugman).