Jeli dan Kritis serta Berpikir Jernih
Artikel penilaian tuan profesor Australia tentang kapasitas dan kemampuan Indonesia, ibarat bacaan prosa bebas tanpa dukungan data dan fakta, dengan logika nan "old-fashioned". Laksana berita besar, artikel tersebut menyebar dalam dunia maya yang terkoneksi secara digital.
Jika dikaji kenapa banyak orang yang lantas menyukai artikel tersebut, tidak lain dari sikap "Negativitiy Bias" dalam melihat permasalahan dan tantangan perekonomian Indonesia; walaupun sering didengungkan berpikir positif dengan wawasan masa depan (Foresight Perspective).
Dalam bertumbuh dan meningkatkan kesejahteraan, suatu negara tidak dapat mengandalkan kemampuan sendiri dalam mengembangkan perekonomiannya; terlebih dalam era globalisasi yang terus menghadapi sikap pro dan kontra.
Selaras dengan globalisasi, tumbuh kerjasama ekonomi regional (Economic Partnership) dengan variasi lokasi dan kepentingan sepertinya NAFTA, ASEAN, European Union, dan yang paling segar adalah Trans-Pacific Partnership (TPP). Dengan memahami globalisasi dan perekonomian, perlu kejelian dan sikap kritis serta berpikir jernih dalam melakukan perbandingan dengan situasi perekonomian negara lain sehingga mengerti kondisi dan posisi Indonesia.
Trend Kerjasama Regional
Dengan kehadiran TPP (saat ini beranggotakan 12 negara dan akan menjadi 18 negara termasuk Indonesia), setelah European Union, dan ikatan tidak-formal ala BRISC, populasi dan perekonomian global dapat dipandang seperti pada Peraga-1.
Melihat Peraga-1, populasi terbesar pada BRICS Plus (BRICS dan negara non TPP-18 dan EU), selanjutnya TPP-18 dan EU; sementara dari ukuran Gross Domestic Product (GDP), TPP-18 merupakan yang terbesar diikuti BRICS Plus dan EU.
Sebagian dari TPP-18 merupakan anggota ASEAN sehingga perlu dilihat posisi ASEAN terhadap TPP-18 seperti pada Peraga-2.
Posisi Indonesia dalam ASEAN dapat dilihat pada Peraga-3.
Negara Myanmar, Campuchea, Laos, dan Brunei dalam kelompok "Other-4".