[caption caption="Sumber Gambar: Mirror"][/caption]
Panorama Suram Pasca Krisis
Apakah dampak krisis keuangan dunia 2008 telah berlalu ? Dengan memperhatikan gejolak dan tekanan pertumbuhan, mengindikasikan dampaknya semakin panjang dan dalam. Deflasi komoditas dan fenomena "glut oil'' muncul hampir bersamaan dengan gejolak akibat utang jangka pendek. Utang tersebut timbul dari godaan "very low interest rate" aliran dana Quantatitive Easing Policy The Fed US yang mengalir ke berbagai penjuru global. Saat suku bunga akan dinormalisasi (baca : dinaikkan) timbul gejolak. Belum lagi "Pertarungan Mata Uang" (Currency Wars) demi persaingan ekspor pada pasar global yang berakibat fluktuasi nilai tukar. Yang sering dianggap penyebab adalah penurunan pertumbuhan ekonomi China; saat ini di bawah 7% (Triwulan-I 2016 pada angka 6,7%).
Dua lembaga keuangan dunia, World Bank dan IMF dalam prediksinya memberikan angka pertumbuhan perekonomian global 2016, setelah dikoreksi dari angka awal tahun, masing-masing 2,9% dan 3,2%, yang lebih rendah dibandingkan 2015. Penyebab utama penurunan antara lain deflasi komoditas dan energi, kondisi China, rentannya pertumbuhan ekonomi US akibat Strong USD (Nilai Tukar USD menguat terhadap mata uang utama seperti Euro, GB Pound, Yen Jepang, CAN$, AUS$ dan mitra dagang US lain termasuk IDR), serta kondisi Euro Area yang dipengaruhi tekanan utang di Yunani, dan Ukraina serta tekanan defisit anggaran di Spanyol, Portugal, Italy.
Negara-negara BRICS (Brazil, Rusia, India, China, South Africa) mengalami tekanan dengan Brazil, Rusia, South Africa merosot; India cukup dapat bertahan dengan pertumbuhan di atas 7% walaupun mengalami tekanan inflasi dengan defisit anggaran serta rasio utang yang tinggi.
Pada beberapa regional mengindikasikan tekanan yang bahkan menjadi lebih parah. Di Amerika Latin, Venezuela mengalami tekanan sangat parah; Argentina terus tertekan utang, Ecuador mengalami penurunan pertumbuhan; sementara Chile, Peru, Columbia, dan Mexico masih bertahan untuk tidak tertular dan tetap tumbuh.
Afrika Utara, Middle East dan Gulf Countries mengalami dampak penurunan harga minyak mentah; sementara Turkey dapat bertahan walaupun mengalami tekanan. Sementara kondisi East Asia (intinya pada Jepang, Taiwan, South Korea), Jepang masih berupaya keluar dari tekanan pertumbuhan; South Korea dan Taiwan mengalami tekanan akibat penurunan ekspor.
Belahan Selatan Asia (South Asia), Pakistan dan Bangladesh mengalami tekanan akibat deflasi komoditas termasuk negara sekitarnya yang mengandalkan pasar ekspor ke China. Sedikit berbeda dengan South East Asia (Asia Tenggara), khususnya Asia-5 (Indonesia, Malaysia, Phillipines, Singapore, Thailand). Singapore sebagai "trading-hub" perdagangan untuk regional, mengalami dampak penurunan ekonomi China; sementara Malaysia sedang mengalami gejolak politik. Tiga negara lainnya menunjukkan kondisi pemulihan.
Dengan memperhatikan pada kondisi tiga poros ekonomi global (Tripolar : US, Euro Area, dan China termasuk BRICS), kawasan seperti Latin America, Afrika Utara, Middle East & Gulf Countries, South Asia, East Asia, sepertinya panorama pelangi belum muncul; bahkan adagium Badai Pasti Berlalu masih membutuhkan waktu panjang.
Resep Tanpa Jaminan
Pasca Krisis Keuangan 2008, The Fed US menggunakan kebijakan stimulus moneter melalui Quantitative Easing. European Central Bank dalam menghadapi tekanan pertumbuhan Euro Area, dengan jargon "Whatever It Takes" (akan berupaya habis-habisan) menggunakan strategi Quantitative Easing dengan Assets Purchase Program serta dorongan perbankan melalui "negative interest rate" untuk "deposit fund". Hal serupa juga sudah lebih dahulu berlangsung di Jepang dalam upaya menanggulangi Liquidity Trap dan Balance Sheet Recession. Hasilnya masih jauh dari memuaskan karena tingkat inflasi masih rendah dan pertumbuhan tetap dalam tekanan. China berupaya melakukan transformasi pertumbuhan dengan meningkatkan konsumsi domestik; sementara pada sisi lain, tekanan pertumbuhan menimbulkan dampak pelarian modal (yang kemudian diprakirakan mengalir ke area lain yang menjanjikan imbalan lebih baik, lihat artikel : Modal Tinggalkan China Pindah ke Indonesia). Kondisi ini menunjukkan kemandulan kebijakan moneter dalam penanggulanan krisis.