Lihat ke Halaman Asli

Arnold Mamesah

TERVERIFIKASI

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Gang Salemba Perekonomian

Diperbarui: 14 Oktober 2015   21:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gang Salemba dan Mafia Berkeley

Menyebutkan nama-nama seperti Darmin Nasution, Bambang P.S. Brodjonegoro, Suahasil Nazara, Agus Martowardojo, Mirza AdityaswaraMuliaman HadadSofyan Djalil  dalam benak langsung akan mengaitkannya dengan perekonomian Indonesia khususnya Pemerintahan Presiden Jokowi dengan Kabinet Kerja. Ada satu kesamaan pada nama-nama tersebut yaitu semua pemegang ijazah dengan simbol Makara, yang merupakan lambang Universitas Indonesia. 

Dalam kondisi resesi perekonomian Indonesia yang sarat yang dengan pengaruh gejolak eksternal perekonomian global, dari pemikiran dan pengetahuan mereka, sebutlah Gang Salemba (alumni Universitas Indonesia), diharapkan lahir strategi dan terobosan agar Indonesia keluar dari resesi menuju pemulihan dan puncak (peak) pertumbuhan yang berkelanjutan.

Menyebut istilah "mafia", lantas teringat sekelompok tokoh yang dikenal sebagai Mafia Berkeley (para tokoh ekonomi seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, Soemarlin). Terlalu dini membandingkan Gang Salemba dengan Mafia Berkeley yang berkiprah pada masa Orde Baru. Tetapi perlu diingat bahwa pada masa Mafia Berkely, pembangunan Indonesia memiliki pedoman yang merupakan hasil karya Bappenas dibawah kepemimpinan Widjojo Nitisastro; kemudian menjadi bahan untuk penyusunan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam pedoman tersebut, pada tahapan awal digariskan untuk menjadikan Indonesia ber-swasembada pangan yang merupakan kebutuhan utama masyarakat. Tahapan selanjutnya membangun dan mengembangkan sektor industri. Sementara dalam pemerintahan Presiden Jokowi dan Kabinet Kerja, telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang merupakan turunan dari tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 - 2025.

Resesi, Depresiasi, Deflasi, Defisit, dan Tekanan Utang

Sejak awal Kabinet Kerja dihadapkan dengan kondisi resesi perekonomian, trend pertumbuhan ekonomi menurun, bagian dari siklus perekonomian. IMF dalam release Oktober 2015 memberikan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2015 3,1%, yang dipengaruh penurunan pertumbuhan China; pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan pada angka 4.7%.

Sepanjang 2015 tekanan depresiasi nilai tukar Rupiah dalam aroma "Currency Wars" terjadi (mereda pada awal Oktober 2015) dan deflasi atau penurunan terus menyertai harga dan energi, yang kelak berdampak pada Deflationary Spiral. Defisit anggaran pemerintah harus terjadi (diprakirakan defisit pada mencapai 2,2% dari PDB) dan ditutupi dengan utang. Tidak cukup dengan depresiasi, deflasi, dan defisit anggaran, ada masalah yang sangat jarang dibicarakan dan dikaji yaitu beban utang dan resesi neraca yang dihadapi dunia usaha khususnya korporasi dan perbankan. Kelak saat sadar keadaan sudah sangat akut dan parah sehingga memerlukan tindakan "amputasi" atau kepailitan yang selanjutnya pengalihan kepemilikan (take over).

Paket Stimulus Yang Miskin Wawasan

Menyiasati situasi perekonomian, dibawah koordinasi Menko Perekonomian sejak awal September 2015 diluncurkan Paket Stimulus dan hingga awal Oktober 2015 telah diterbitkan 3 (tiga) jilid. Paket stimulus tersebut memang bukan obat atas "demam depresiasi" nilai tukar. Tetapi mendorong sektor industri dan mengundang aliran modal (FDI : Foreign Direct Investment) masuk dan diinvestasikan dalam perekonomian. Berbagai kemudahan dan insentif pajak diberikan, juga percepatan proses perijinan dengan tujuan memberikan citra yang menarik. Tetapi jika dikaji lebih dalam, paket stimulus tersebut miskin wawasan dan arah khususnya dalam perspektif pembangunan ekonomi berkelanjutan. Bahkan jika memperhatikan insentif yang disebarkan dan kendali dalam tahapan selanjutnya, pilihan utang menjadi lebih baik daripada FDI.

Dongeng bertajuk Perubahan dalam Polemik HST

Sejak medio Agustus 2015, ramai menjadi pembicaraan yang menuju polemik tentang rencana pembangunan High Speed Train (HST) Jakarta - Bandung, yang terus berlanjut pada awal Oktober 2015. Konon Jepang (dianggap) mundur dari persaingan karena tidak dapat memenuhi persyaratan finansial pemerintah yang mengarahkan pembangunan HST dengan skema B2B. (Lihat artikel : Fallacy BUMN : Sarat Jargon, Sporadis dan Skema B2B). Akibatnya, pertarungan antara HST China, turunan dari teknologi Alstom (France), Siemens (Germany), Bombardier (Canada), dan Kawasaki Heavy Industries (Japan), yang ibarat menu capcay dengan menu sushi-tei HST Shinkanzen Jepang gagal tampil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline