Apresiasi IDR terhadap USD sebesar 8% dalam waktu satu minggu merupakan "kondisi semu" karena tidak ditunjang kinerja perekonomian yang luar biasa/Kompas Print
Rupiah nan Fenomenal
Tidak pernah terpikirkan sebelumnya akan terjadi apresiasi Rupiah (IDR) terhadap Dolar Amerika (USD) dalam waktu singkat. Pada 2 Oktober 2015, kurs tengah Bank Indonesia tercatat IDR 14.709 untuk USD 1 dan pada 9 Oktober 2015 menjadi IDR 13.521 atau IDR menguat sebesar 8%. Keadaan ini membuat gegap gempita para "pelopor Rupiah", kaum yang selalu menuntut agar "IDR Strong" terhadap USD tanpa memahami maknanya secara utuh.
Sementara kaum "pelipur Rupiah" yang kerap memposisikan IDR baik-baik saja atau juga berupaya memotivasi dengan memberikan "dongeng" atau motivasi tentang Rupiah, menganggap kondisi apresiasi merupakan tanggapan positif atas kebijakan yang diterbitkan dan meningkatnya kepercayaan. Jangan lupa, tidak sedikit kaum "pelapor Rupiah" yang rajin menebar kisah dan kesah depresiasi IDR serta bahasan dengan kajian canggih tapi sukar dipahami runtut pemikiran serta rasionalitasnya.
Nilai Tukar dan Implikasi Ekspor Impor
Kepentingan akan nilai tukar tentu tidak sama bagi individu atau keluarga, korporasi atau dunia usaha, dan pemerintah beserta Bank Sentral. Individu atau keluarga yang akan mengadakan perjalanan ke luar negeri butuh nilai tukar untuk menghitung biaya perjalanan beserta belanja; atau berkaitan dengan biaya sekolah anak di luar negeri. Pengusaha atau korporasi memerlukan nilai tukar sebagai rujukan konversi harga (jual atau beli) dalam bertransaksi (ekspor atau impor) dengan mitra dagang di luar negeri, atau berkaitan dengan perhitungan nilai simpanan, atau utang yang dilakukan dalam valuta asing. Sedangkan pemerintah memerlukan nilai tukar berkaitan dengan anggaran belanja (defisit anggaran), dan utang luar negeri (pemenuhan kewajiban). Akan halnya Bank Indonesia dalam kapasitasnya sebagai Bank Sentral, kestabilan nilai IDR merupakan tujuan tunggal; dan dalam tujuan tersebut mencakup kestabilian nilai tukar terhadap mata uang negara lain. Apakah pilihan yang tepat antara IDR menguat terhadap mata uang asing, misalnya atas USD, atau sebaliknya.
Untuk pemahaman nilai tukar dalam ekspor dan impor, diberikan ilustrasi seperti berikut ini. Saat nilai tukar USD 1 = IDR 12.500, harga barang ekspor sebesar IDR 100.000 setara USD 8. Tetapi kemudian IDR menguat sehingga USD 1 = IDR 10.000, harga barang menjadi setara dengan USD 10 atau naik sebesar 25% (naik USD 2 dari USD 8). Demikian sebaliknya, harga barang impor USD 10, semula setara IDR 125.000, akibat IDR menguat, harganya setara IDR 100.000 atau turun 20% (IDR 25.000 dari IDR 125.000) . Andaikan indeks sensitivitas 0,4; kenaikan harga barang ekspor akan mengurangi pembelian sebesar 0,4 * 25%, atau setara 10% nilai ekspor secara keseluruhan. Sebaliknya, konsumsi barang impor meningkat sebesar 0,4 * 20%, setara 8% dari nilai barang impor. Jika semula nilai ekspor dan impor secara keselurahan sama (Neraca Perdagangan seimbang), setelah nilai tukar USD 1 berubah dari IDR 12.500 menjadi IDR 10.000, neraca ekspor impor perdaganan menjadi minus (defisit) 18%. Angka ini didapatkan dari penurunan pendapatan dari ekspor 10% dan pertambahan pengeluaran untuk impor 8%. Dalam kondisi neraca perdagangan surplus, semula dapat melakukan simpanan dari surplus tersebut. Tetapi kemudian akibat defisit, harus mengurangi simpanan bahkan berbalik menjadi berutang. Lebih berbahaya jika semula neraca perdagangan defisit dan berutang maka selanjutnya utang kian bertambah.
Kontradiksi Depresiasi IDR dan Strong USD
Jika dikaji perekonomian Januari hingga September 2015 dengan kondisi IDR mengalami depresiasi terhadap USD, catatan menunjukkan bahwa inflasi tahun berjalan 2,24% (prakiraan hingga akhir 2015 inflasi tidak lebih dari 4%); hingga akhir triwulan-2, surplus perdagangan barang mencapai USD 7,2 miliar, dan aliran penanaman modal langsung (FDI) USD 12 miliar (catatan sementara, surplus perdagangan tercatat untuk Juli sebesar USD 1,22 miliar dan Agustus sebesar USD 0,46 miliar). Kinerja berdasarkan indikasi ini selayaknya mendapatkan apresiasi.
Lonjakan depresiasi IDR terhadap USD pada jelang pekan ketiga dan pekan terakhir September 2015 lebih merupakan akibat peningkatan kebutuhan USD untuk pembayaran kewajiban utang eksternal pihak swasta dan pemerintah. Sementara pada sisi lain, pada pasar saham terjadi arus penjualan dan aliran dana keluar mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed pada pertengahan September 2015 (tetapi kemudian tidak terjadi atau ditunda).
Kondisi Strong USD bukan hal yang baik bagi perekonomian US. Kinerja korporasi US triwulan-2 2015 banyak yang tidak memenuhi proyeksi pendapatan (Lihat tabel dan artikel : Strong Dollar, Weak Energy Sector Are Masking Decent Results At Big Companies).