Lihat ke Halaman Asli

Arnold Mamesah

TERVERIFIKASI

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Omne Trinum Perfectum dalam Bingkai Paradigma - Paradoks - Pareto

Diperbarui: 19 Oktober 2015   13:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ikhtiar Pengharapan

Hanya dalam hitungan pekan, pesawat “Endeavor” (baca : Ikhtiar) RI 2014-2019 akan “take-off” dengan Presiden Joko Widodo bertindak sebagai “Captain Pilot In-Command”, dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai “Co-Pilot”. Para awak kabin (baca : Anggota Kabinet) sedang menjalani proses seleksi komprehensif di Rumah Transisi untuk mendapatkan mereka yang terampil, tangguh dan tanggap dalam pelayanan sepenuh hati kepada segenap penumpang yaitu rakyat Indonesia.

Tulisan Omne Trinum Perfectum – 3 Par ini niatnya memberikan buah pemikiran pada duo JKW-JK saat akan mengarungi Ikhtiar RI 2014-2019 sebagai pemegang amanat dari rakyat Indonesia.

Omne Trinum Perfectum : Jalin Lengkap, Padu, Sempurna

Omne Trinum Perfectum (OTP) adalah istilah dari bahasa Latin yang terjemahan sederhananya bermakna segala sesuatu yang datang dalam “tri” (tiga) adalah sempurna.

Dalam beberapa pekan terakhir, bergaung istilah Trisakti (3-sakti) yang diambil dari pidato Bung Karno pada 1963, antara lain berbunyi : Berdaulat dibidang politik, Berdikari dibidang ekonomi dan Berkepribadian dalam kebudayaan. Agak mirip dengan 3-sakti, dalam tradisi budaya Batak, dikenal falsafah Dalihan Na Tolu (Tungku Berkaki Tiga) yang bermakna saling padu mendukung, melengkapi, dan menyempurnakan.

Ide penyebutan Kabinet Trisakti selayaknya didasarkan sebagai landasan untuk menjalin kerjasama yang padu dalam kepelbagaiannya dan saling melengkapi untuk mencapai kesempurnaan karya dan karsa pemerintahan JKW-JK dalam masa 2014-2019.

Sekilas Tentang Paradigma, Paradoks, Pareto

Paradigma dapat dimaknai sebagai suatu cara pandang dan pola pikir atas suatu hal. Sebagai contoh dalam hal energi, paradigma dalam benak sebagian besar rakyat adalah bahwa Indonesia memiliki energi dan sumber daya alam yang berlimpah sebagai anugerah Sang Pencipta. Dengan kelimpahan tersebut, sangat tidak mungkin Indonesia mengalami krisis energi. Kisah BBM (Bahan Bakar Minyak) dengan bumbu subsidi serta BBM harus impor untuk memenuhi kebutuhan memberikan pelajaran berharga atas kelalaian dan keterbuaian pada pola pikir energi yang berlimpah. Alam nan subur dan makmur bak Kolam Susu yang dilantunkan Koes Plus, seakan mengatakan Indonesia memiliki alam yang akan memberikan pangan bagi seluruh rakyatnya. Pada kenyataannya, Indonesia mengalami kondisi rawan pangan sehingga perlu melakukan impor dari negeri seberang.

Paradoks dapat dipahami sebagai suatu pernyataan atau proposisi yang dibangun berdasarkan penalaran namun kemudian menghasilkan sesuatu yang bersifat kontradiksi. Contoh tentang paradoks (atau kondisi paradoksal) terjadi dalam hal kenaikan BBM pada Juni 2013. Pertimbangan kenaikan BBM untuk mengurangi subsidi dan menurunkan konsumsi. Namun, kenyataannya pada kemudian hari, anggaran subsidi pemerintah untuk BBM malah bertambah dan konsumsi BBM tidak mengalami perubahan yang berarti. Fenomena lain yang dapat diambil sebagai contoh dan pelajaran adalah pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Upaya keberhasilan pertumbuhan ekonomi diukur dari GDP (Gross Domestic Product), yang merupakan indikator kesejahteraan dan kemakmuran bagi segenap rakyat. Jika dilihat dari besaran GDP Indonesia, status “Under Developed” telah berubah menjadi kategori “Lower Income” menuju Mid Income. Tidak disangkal bahwa pertumbuhan ekonomi (Growth) pada kisaran 5-7% per tahun telah dicapai. Namun timbul juga kondisi lain yaitu senjangan (Gap) antara rakyat yang berpenghasilan rendah dengan yang berpenghasilan menengah hingga atas. Bahkan, muncul sikap tamak (Greedy) yang dilakukan mereka yang berpenghasilan menengah dan atas untuk melahap setiap peluang yang ada secara berlebihan agar dapat menambah pundi kemilikan dan kekayaannya. Sungguh ironi kondisi paradoksal yang timbul pada upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran Indonesia.

Pareto atau sering disebut Rule 80/20 (Eighty-Twenty Rule) diadopsi dari hasil pengamatan seorang ahli ekonomi Itali, Vilfredo Pareto, yang menemukan bahwa pada 1906, 80% pendapatan Italia dimiliki atau dikuasai 20% populasi negeri tersebut. Pemahaman Pareto dalam relasi “causal-impact” dapat dinalarkan bahwa 80% akibat (impact) dipengaruhi oleh 20% penyebab (causal). Dengan menggunakan Pareto, seharusnya dapat dipilih hal-hal yang sangat berdampak pada sebagian besar rakyat termasuk juga masalah yang dihadapi dan diidentifikasikan penyebabnya untuk mendapatkan penyelesaian.

Merajut Jalinan Demi Masa Depan

“Endeavor” JKW-JK layaknya pesawat sarat permasalahan yang kian menggerogoti dalam upaya menggapai cita-cita Proklamasi Kemerdekaan NKRI. Krisis energi, dengan isu kenaikan harga BBM seakan momok menakutkan dengan dampak kenaikan harga dan berimplikasi kemiskinan dan kemelaratan (Forever Poverty & Slump) yang mendera rakyat. Kemelut seputar Sandang, Pangan, dan Papan yang merupakan hajat hidup rakyat banyak, seakan tidak pernah dapat dituntaskan.

Pertumbuhan ekonomi yang dicapai dalam beberapa periode lalu dalam ukuran GDP dan GDP Per Capita seakan fatamorgana yang menyimpan “bahaya latent”; akibat timbulnya senjangan (gap) dala masyarakat penghasilan rendah dengan masyarakat kelas menengah ke atas dibumbui dengan perilaku tamaknya. Fundamental ekonomi yang keropos akibat pertumbuhan yang banyak bergantung pada sektor konsumsi bukan pada investasi. Belanja pemerintah yang konon kurang 10% dari GDP tidak dapat banyak diharapkan untuk menjadi penggerak utama perekonomian. Infrastruktur yang merupakan nadi Industri masih berkutat dengan hambatan dan kendala minim investasi yang kemudian mengindikasikan proses de-industrialisasi; dampaknya bukan pada penciptaan lapangan kerja tetapi sebaliknya.

Gejala High Cost Economy pada tingkat pusat dan daerah, (konon pernah mencapai lebih dari 30%) dengan “Moral Hazzard” pada birokrasi masih terus mengancam dan seakan jauh dari bentuk birokrasi yang berorientasi layanan, tanggap, tertib, terampil, dan transparan dalam tatanan Good Governance.

Tak habis-habisnya permasalahan yang dihadapi, mengikis pengharapan dalam berikhtiar.

Namun, semangat patriotik bangsa menanamkan sikap dan karakter pantang menyerah serta selalu berpengharapan.

Dari pemahaman akan paradigma, paradoks dan pareto, layak menjadi perhatian bagi JKW-JK antara lain :

1. Bebaskan diri dari beban paradigma lama yang memanjakan dan me-ninabobo-kan dan bangun paradigma baru yang berdasarkan realitas yang dihadapi

2. Belajar dari paradoks dan kontradiksi masa lalu agar tidak terantuk kembali sehingga kebijakan dan tindakan yang diambil bukan menjadi kesia-siaan layaknya “menabur angin akan menuai badai”

3. Berdayakan segenap potensi dengan penggunaan pareto yang sesuai untuk prioritisasi penyelesaian masalah, pemanfaatan tantangan dan kesempatan serta selalu mengutamakan yang utama yaitu demi dan untuk kepentingan rakyat.

Lantas yang manakah Omne Trium Perfectum alias tri-dimensi nuju kesempurnaan ?

Institusi Birokrasi dengan Instrumen regulasi dan kebijakan, Industri dan Infrastruktur bersama komunitas Dunia Usaha, Individu putera-puteri Indonesia sebagai perekat, penggerak, dan pelaksana yang padu satu saling melengkapi dan memberdayakan dalam karya dan karsa.

Pekan ketiga, September 2014

Arnold Mamesah - Laskar Initiatives

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline