Lihat ke Halaman Asli

Hujan Ketiga

Diperbarui: 18 Juni 2019   20:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

wallpapercave.com

Sudah memasuki hujan ketiga. Aku masih sering menguntit apa yang sedang dia lakukan dan ke mana saja dirinya pergi selama 24 jam. Tatapan mataku tak pernah mau berpaling padanya. Tidak pernah sedikit pun. Hatiku pun begitu. Aku masih mencintainya.

***

Aku sudah keluar dari kamar. Aku memakai kemeja flanel merah bergaris hitam. Rambutku diolesi Gatsby lalu kusisir model klimis. Kusemprot Axe ke sebelah kanan dan kiri kemejaku, kuhirup aromanya. Pasti dia akan suka, kata hatiku. Begitu kurasa aku sudah tampan, aku bergegas pamit pada ibu. Ibu berlalu saja dari hadapanku.

Aku menangkupkan helm di kepala kemudian memutar kunci. Kupacu tali gas sepeda motorku agar lebih cepat sampai ke rumahnya.

Perempuan yang kujumpai namanya Eliza. Gadis itu tinggi semampai. Rambutnya panjang lewat bahu. Kulitnya putih bersih. Hidungnya bangir mirip hidungnya Marshanda. Bibirnya tipis merah merona. Kalau urusan gadis cantik, lelaki akan lebih cepat mengingat bentuk fisiknya tak terkecuali aku.

***

Biar kau tahu perjumpaan pertama kali dengan Eliza ketika aku berada di parkiran kampus. Kalau tidak salah saat aku mau menyalakan sepeda motor akan menuju basecamp alias kontrakan, aku melihat dia menggaruk-garuk kepala. Gadis itu berdiri tak jauh dari tempatku memarkirkan sepeda motor. Dia kelihatannya kebingungan meminta pertolongan pada siapa.

Karena didorong rasa tak tega melihat orang kesusahan, aku menghampirinya, kutanya apa yang perlu kubantu. Dia bilang ada seseorang yang dia sendiri tidak tahu siapa orangnya, menggembosi ban belakang Mio-nya. Aku juga mengerti apa yang menjadi kebingungannya. Kulihat jam tangan yang melingkar di lenganku menunjukkan pukul 18.14. Sudah petang menjelang malam. Kuamati sekeliling kampus sudah sepi. Hampir tidak ada orang berlalu lalang. Bisa dibilang hanya ada kami berdua di sana di bawah pancaran lampu pijar yang menerangi parkiran sepeda motor.

Aku menyuruh dia menaiki motorku sedangkan aku mendorong motornya menuju tukang tambal ban yang jarakya agak jauh dari kampus. Awalnya dia sempat ragu ketika kukatakan kalau aku yang akan mendorong sepeda motornya sampai ke tukang tambal ban. Tapi kubilang 'tidak apa-apa'.

Kuberhentikan sepeda motornya tepat di depan tukang tambal ban. Aku menuju motorku yang diparkirkannya di sana. Aku langsung tancap gas karena sudah waktunya aku mengambil rantangan malam untuk teman sekontrakanku.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline