Lihat ke Halaman Asli

Demonstasi dan Saling Lempar untuk Siapa

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah apa yang ada di benak para pendemo BBM. Saat mereka berteriak dan melemparkan batu kearah Polisi, dan merusak bahkan sampai membakar habis fasilitas umum. Fasilitas yang dibangun dengan menggunakan uang dari pajak yang dibayar oleh rakyat, yang tentu saja termasuk orang tua dan sanak saudaranya.

Diseberang sana, entah apa pula yang dipikirkan oleh para Polisi yang menjadi tameng hidup menghadapi para demonstran. Disaat mereka harus menghalau, bahkan kerap balas menyerang dan melempari orang-orang yang bisa jadi adalah kerabat dan keluarganya.

Bahkan tidak tertutup kemungkinan apa yang dipikirkan oleh para demonstran, itu juga yang ada di dalam benak Polisi yang diserangnya. Namun keberadaan dan keadaanlah yang mengharuskan mereka berada pada posisi yang berseberangan dan saling berhadap-hadapan.

Mengapa unjuk rasa, baik dari mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya selalu harus berakhir dengan anarkis. Beginikah model demokrasi hasil dari reformasi yang diimpikan. Reformasi yang diraih dengan begitu mahal karena harus menelan korban tidak hanya harta benda tetapi juga nyawa aktifis dan orang-orang yang tidak berdosa.

Lalu mengapa lagi dan lagi, mahasiswa dan elemen masyarakat mesti turun ke jalan, apakah wakil rakyat di gedung megah sana sudah tidak bisa menyuarakan aspirasi dari orang-orang yang mereka wakili. Alangkah lucu dan ironisnya komentar salah seorang kawan saya dengan logat Makassarnya, “Kan Mereka itu wakilnya rakyat to…, jadi merekami itu yang wakiliki kalo mauki makan enak dan bersenang-senang”. Lalu lain lagi komentar kawan yang lainnya, “Pantasan tambah banyakki orang miskin dan anak terlantar di negara ini, karena memang tong undang-undang menyuruh Negara peliharaki…, cobami liat kalo orang berhasil memelihara ayam, tambah banyakki to…”

Slogan bahasa Latin “Vox pupuli vox dei”, yang artinya Suara rakyat adalah suara Tuhan, ternyata harus menjadi slogan kosong pemanis bibir yang jauh panggang dari api. Ketika pemerintah sebagai penguasa tidak lagi mendengar suara rakyat yang tidak menginginkan kenaikan harga BBM. Karena kenaikan BBM sama saja dengan menaikkan seluruh harga-harga barang, baik sandang, pangan maupun papan.

Sementara itu disisi lain, aksi demonstrasi yang dilakukan elemen mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi seperti di Kota Makassar, justru mendapat kecaman keras dari masyarakat. Sebagaimana yang dimuat di harian Upeks, Rabu (28/3). Hal itu diakibatkan karena aksi menolak kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) itu berlangsung anarkis dan berujung bentrok dengan aparat keamanan.

Aksi demonstrasi anarkis mahasiswa mengakibatkan roda perekonomian di Kota berpenduduk 1,2 juta ini nyaris lumpuh. Masyarakat enggan keluar rumah. Angkutan transportasi terganggu. Banyak toko, rumah makan tutup. Bahkan anak-anak sekolah pun jarang yang masuk ke sekolah karena diliputi rasa kecemasan. Sehingga aksi yang awalnya mengatasnamakan kepentingan masyarakat itu, justru akhirnya mendapatkan antipati dan kebencian sebagian warga masyarakat.

Ternyata harapan dan keinginan, memang tidak selalu sama dengan kenyataan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline