Lihat ke Halaman Asli

Armidin

Berbagi dan bermanfaat

Keterkaitan Kultur dan Hubungan Emosional Wilayah Pasca Smong Simeulue 1907

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1342124045609260278

[caption id="attachment_200187" align="aligncenter" width="626" caption="Pulau Simeulue"][/caption] Smong (tsunami) 1907 Pulau Simeulue bukan hanya menimbulkan bencana layaknya smong 2004, namun juga menimbulkan efek migrasi (perpindahan penduduk) secara besar-besaran dari wilayah yang terkena dampak besar smong ke daerah yang relatif aman dalam wilayah Simeulue. Keadaan migrasi ‘terpaksa’ ini menimbulkan sesuatu yang berharga bagi penyebaran dan asimilasi penduduk di Pulau Simeulue sekaligus membawa serta kultur/budaya asal ke daerah yang di tuju. Termasuk dalam hal ini disamping mempengaruhi bahasa dan dialektikal juga menautkan garis keturunan/kekeluargaan yang masih terikat secara emosional dengan daerah asal. Penduduk Simeulue sebelum 1907 yang terkonsentrasi di wilayah padat pantai barat Simeulue, sebagai daerah yang telah berkembang dan telah mempunyai pemerintahan layaknya ‘center of government’ dengan budaya dan tata aturan kemasyarakatannya yang dipimpin oleh pemimpin tradisional di tiap-tiap wilayah. Wilayah ini di mulai dari daerah Lasikin, Batu-Batu, Leubang, Salur sekitarnya (Teupah Barat), Kuta Padang (Simeulue Tengah) sampai ke daerah Sinareuheu/Nasreuheu (Salang) dan Leukon. Pada saat itu pantai barat Simeulue telah menjadi pusat pengembangan islam di Simeulue, di sini Tgk. Khalilullah (Tgk Di Ujung) sebelumnya dalam mengislamkan Simeulue bergerak dengan mengambil ‘starting point’ nya dari Kuta Padang (Simeulue Tengah). Dan Tgk Bakudo Batu memulai syiarnya dari Salur (Teupah Barat). Kondisi ini menunjukkan bahwa memang daerah ini menjadi awal  perkembangan syiar islam juga perkembangan demografi Simeulue secara umum. Hipotesa perpindahan penduduk massif yang memungkinkan ketika Smong 1907 terjadi, adalah sebagian besar masyarakat yang trauma smong di wilayah pantai barat telah melakukan hijrah atau migrasi ke sebelah pulau bagian pantai timur ke tempat daerah yg tidak parah dihantam smong yang kemudian menetap secara permanen di daerah barunya tersebut. Terdapat beberapa keterkaitan pasca pergerakan penduduk yang dapat dihubungkan dengan keterkaitan kultur dan bahasa daerah asal serta ikatan kekeluargaan antara daerah asal dengan dengan daerah baru. Masyarakat Lasikin dan sekitarnya diperkirakan telah melakukan migrasi ke daerah Simpang Lanting, dan Nancawa. Masyarakat Batu-Batu bergerak ke Batu-batu Hulu, masyarakat Leubang ke Leubang Hulu sedangkan Salur bergerak ke Hulu (Latun) dan bahkan sampai menuju hulu Kuala Umo, ganting dan Sefoyan di daerah pantai timur. Masyarakat dari daerah Simeulue Tengah melakukan migrasi jauh sampai ke pantai timur ke daerah Teluk Dalam sekitarnya, dan sebagian penduduk Nasreuheu dan Leukon berpindah ke daerah perbatasan Simeulue Barat. Akibat migrasi tersebut saat ini kita masih menjumpai keterkaitan kekerabatan dan dialektikal bahasa antara Lasikin dengan Simpang lanting sampai Nancawa, Batu-batu dengan Batu-Batu Hulu, Lebang dengan Lebang Hulu, Salur latun dengan Kuala Umo, Ganting dan Sefoyan, Simeulue Tengah dengan Teluk Dalam, dan Nasreuheu serta Leukon dengan Simeulue Barat. Keterkaitan ini membuat masyarakat Simeulue secara umum merasakan kedekatan emosional dan kekerabatan 'relationship'antara masyarakat pantai timur dan barat, walau sebagian masyarakat tidak banyak yang mengetahui penyebab akulturasi 'disaster' ini dan keadaan ini sampai sekarang terus dipupuk secara alamiah oleh masyarakat setempat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline