Lihat ke Halaman Asli

Armidin

Berbagi dan bermanfaat

Nature or Nurture

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13101349161637246057

Kecepatan (speed), kekuatan (strength), kegesitan (agility), dan daya tahan (endurance)serta kecerdasan (intelligence) adalah faktor-faktor yang diturunkan (nature) yang didapat dari kedua orang tua secara genetis. Sedangkan faktor-faktor yang didapat dari lingkungan (nurture) adalah faktor-faktor sosial yang didapat setelah manusia lahir ke dunia.

Kedua faktor ini secara sinergi bisa saling memperkuat dan memperlemah, lihat saja  para atlit dari benua Afrika rata-rata selalu menjadi yang terbaik dalam lintasan atletik. Seolah-olah merekalah yang memiliki jargon olimpiade Vini, Vidi, Vici itu. Kami datang, kami berjuang dan kami menang. Talenta yang dimiliki oleh ras negroid kemudian diperkuat oleh keadaan sosial, geografis, dan lingkungannya sehingga patut dan layak mereka tetap yang terbaik di lintasan atletik. Fakta yang membuktikan bahwa rerata olimpiade di dunia selalu didominasi wajah-wajah dan kulit-kulit ras Afrika dan sampai saat ini pun dominasi ini belum lagi terpatahkan. Walau sesekali kemudian barulah muncul dari ras kaukasoid, para atletik yang berasal dari tanah Balkan.

Kemudian Amerika Selatan selalu identik dengan permainan bola yang ciamik, seolah bermain bola bagi mereka seringan menarik nafas saja? Para pesohor sepak bola dunia selalu didominasi dari benua ini. Tercatatlah mulai dari Pele, sang legendaris hidup yang dilanjutkan dengan Maradona, Romario, Ronaldo,dan terakhir ini pesohor club Barca yang menjadi pemain terbaik dunia, Messi. Lalu sesekali muncullah satu-satu dari benua lain seperti Eropa dan Afrika sebagai katakanlah bias genetika?

Lalu dimanakah letak keunggulan negara lain? sebagai keadilan genetika? India dengan kriketnya, Rusia dengan senamnya, Asia kuning (mongoloid) dengan badmintonnya termasuklah Indonesia dalam hal ini. Dan bisakah dikatakan bahwa kita sebaiknya ‘rela’ dengan pambagian genetika keunggulan ras seperti ini?

Genetis memang merupakan faktor yang menentukan, bahwa sekelompok masyarakat punya talenta atau kecenderungan terhadap sebuah aktifitas olah raga. Benua Afrika mencatatkan keturunan-keturunan yang punya stamina kuat (endurance) dan kekuatan (strength) yang prima sehingga mereka spartan dalam olahraga yang mengandalkan kekuatan dan stamina, baik gen yang masih murni yang belum tercampur yang berada di benua Afrika maupun yang sudah bermigrasi ke benua lain. Kekhasan genetisnya tetap mereka bawa meskipun mereka sudah melintas batas jauh dari benua asalnya.

Beberapa atlit Amerika yang merajai lintasan atletik juga berkulit hitam, demikian juga Eropa. Endurance dan strength mereka juga berpengaruh terhadap penguasaan olahraga sepak bola. Karena kedua olahraga ini memang bertumpu kepada kedua kelebihan ini. Bisa jadi Amerika Selatan mempunyai kelebihan lain yaitu kecepatan (speed) sehingga walaupun mereka lemah di kekuatan namun endurance dan speed lah yang membuat mereka menang dalam persaingan sepak bola dunia.

[caption id="attachment_121477" align="aligncenter" width="300" caption="Nature and Nurture (jose_psychology)"][/caption] Lalu dimanakah Indonesia? Kita sepertinya telah ‘ditakdirkan’ untuk dominan di jalur agility atau kegesitan dan sedikit kecepatan, namun lemah dalam endurance maupun kekuatan. Oleh sebab itu kitapun tak jauh-jauh dari hasil penguasaan olah raga yang kita dominasi. Sepakbola? no way, itu bukanlah genetis Indonesia. Badmintonlah yang lebih spesifik untuk agility dan speed tadi.

Berbeda halnya jika genetis badminton yang sudah melekat dalam agility dan speed ras Asia kuning, dengan polesan dan latihan maka kita akan merajai olahraga ini dimana-mana. Sampai-sampai orang Afrika sendiri bingung kenapa Indonesia begitu digjayanya dalam olah raga ini. Ketika badminton baru pertama kalinya dimasukkan dalam cabang olimpiade, Indonesia berhasil menancapkan dominasinya dalam dua medali emas sekaligus yang diraih oleh Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti pada waktu itu.

Siapa yang tak bangga jika para olahragawan Indonesia bisa merajai dalam setiap cabang olahraga yang ada di dunia, mendominasi dalam setiap even yang mengharumkan nama bangsa terlebih dalam bidang sepakbola, sebagai olahraga favorit masyarakat kita sepertinya belum lengkap sebuah kebanggaan jika belum dilengkapi dengan tropi sepakbola, ibarat bunga yang mekar indah namun tiada semerbak wangi yang tercium ke seluruh negeri. Begitulah kemenangan olahraga tanpa disertai kemenangan bola kaki.

Dalam bidang sepak bola kita bukanlah pemilik talenta itu, jika dibandingkan dengan raksasa bola dunia seperti Amerika Selatan dan Eropa, kita bagaikan goliath dan liliput itu. Apakah itu berarti segalanya tamat? Nanti dulu, dalam pencapaian sebuah prestasi nature bukanlah segala-galanya, nurture juga mempengaruhi hal itu. Sebuah prestasi akan dipengaruhi oleh dua keseimbangan secara bersamaan nature and nurturebiology and social yang bisa tumbuh baik dalam individu atau karakter sebuah bangsa yang terus menerus dipoles dan dilatih dalam setiap kesempatan.

Prestasi yang dicapai para bintang sepak bola dunia saat ini tak terlepas dari perjalanan panjang yang bernama penjaringan dan pembinaan. Negara yang tidak diunggulkan sebagai negara bola bisa jadi akan menjadiraja bola di suatu saat. Siapa sangka Korea Selatan akan mampu mempermalukan para raksasa bola dunia, itu semua tak terlepas peran penjaringan dan pembinaan, dengan pelatihan yang mantap, mendatangkan pelatih juga yang mantap dengan manajemen yang baik, akhirnya mereka dapat masuk ke jajaran elit sepakbola Asia dan dunia. Dan kesemua itu bukanlah semudah membalik telapak tangan. Semua butuh waktu, tenaga, dana, dan semangat juang yang tinggi dan jangan tinggalkan juga rasa nasionalisme.

Kita tertegun mendengar sebuah wawancara di TVRI beberapa minggu yang lalu, kala itu TVRI menampilkan duta besar Kroasia sebagai orang yang diwawancarai. Mana kala Kroasia sebuah negara kecil di Eropa itu punya sistem penjaringan yang luar biasa baiknya, begitu besar perhatian mereka terhadap penjaringan bakat. Mulai dari sekolah dasar mereka sudah mulai mengelompokkan para calon olahragawan mereka ke arah mana mereka akan diarahkan kelak setelah dewasa nantinya, dan di sini negara berperan sangat penting dalam menyusun sistem ini. Tidak membiarkannya berjalan sendiri. Sementara negara kita Indonesia bagaimana?

Bias genetika atau mutasi gen bisa saja terjadi, sehingga sesekali muncul ras lain dalam talenta yang berbeda. Tapi itu sebuah keajaiban, yang benar adalah nurture yang diperkuat sehingga memaksimalkan nature yang ada. Nature akan semakin bersinar jika dipoles dengan nurture, talenta bertemu dengan latihan dan pembinaan yang sempurna akan menghasilkan para bintang. Inilah idealisme sebuah pencapaian.  Namun nature dan nurture bisa ditambah dan dipoles dengan usaha keras dan keseriusan. Indonesia pun bisa mensejajarkan diri dengan bangsa lain yang bertalenta. Kita bisa memoles nature yang minimalis dengan nurture yang maksimalis. Selamat berbenah dan berjuang, bravo olahraga Indonesia...

Protected by Copyscape Web Plagiarism Check

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline