Lihat ke Halaman Asli

Restoran Tutup di Bulan Puasa

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebersit pemikiran yang sudah sejak lama saya pertanyakan, tiba-tiba muncul lagi siang ini. Pertanyaan yang selalu muncul menjelang bulan puasa, dan semakin membuat saya bingung setelah saya mengalaminya sendiri ketika kuliah.

Kenapa sih restoran dan rumah makan harus tutup di siang hari ketika bulan puasa?


Logika saya (yang pas-pasan) masih belum dapat menerima penjelasan yang paling logis dan masuk akal tentang kegiatan ini. Kalau panti pijat plus-plus, tempat esek-esek, atau pusat hiburan yang terkadang jadi pusat maksiat juga ditutup, ya oke lah. Logikanya masih masuk akal, yakni karena itu menggugah “keinginan“, bukan hanya “kebutuhan“, baik itu muslim maupun non-muslim.

Tapi masalah makan, bukankah itu “kebutuhan“? Apakah nafsu untuk makan adalah sama dengan nafsu untuk berbuat maksiat? Atau nafsu untuk dipijat plus-plus? Pernahkah berpikir mengenai umat beragama lain yang butuh makan di siang hari, namun harus susah setengah mati mencari tempat makan, dan dengan kewaspadaan tingkat tinggi pula karena takut terkena sweeping ormas basi yang gemar banting-banting warung orang. Pernahkah?

Pernahkah berpikir bahwa dengan alasan supaya yang menjalankan ibadah puasa dapat beribadah dengan tenang”  malah semakin menunjukkan kadar keimanan seseorang? Kadar keimanan seseorang yang hanya dengan melihat makanan atau orang yang sedang makan, maka puasa yang sudah dijalankannya akan batal dengan mudahnya. Bukankah itu justru seperti mendeklarasikan pada masyarakat bahwa “Hei, iman kami tidak sekuat itu. Niat kami berpuasa masih sebatas kewajiban, bukan kesadaran. Jadi tolong, permudah kami, okay?

Di mana letak pahalanya? Di mana letak cobaannya? Bukankah cobaan yang mendatangkan pembuktian bahwa kita tahan uji? Bukankah cobaan justru membuat kita belajar bertahan terhadap nafsu dunia? Atau cara termudahadalah dengan memberantas semua cobaan dan ujian tersebut? Lantas manusia seperti apa yang terbentuk dari kondisi demikian, kondisi yang lembek dan semua cobaan telah diberangus? Sudah tentu hasilnya adalah manusia yang tidak tahan uji.

Tidak ada niat saya sama sekali untuk tidak menghormati anda yang berpuasa. Saya juga berusaha untuk tidak minum dan makan di hadapan orang yang sedang berpuasa, meski saya masih tidak paham dengan logikanya. Tapi demi alasan menghormati, saya bersedia melipir ke tempat sepi, untuk sekedar makan dan minum. Tapi tolong, berikan hak saya dan jutaan orang lainnya yang tidak berpuasa. Berikan pula hak para wanita yang sedang berhalangan, atau ibu hamil yang butuh asupan gizi untuk anaknya di siang hari. Berikan pula hak para pedagang makanan yang menggantungkan hidupnya pada warung kecilnya, yang harus was-was dengan sweeping ormas basi tersebut.

Dan wahai pemerintah, bijaksanalah. Jangan legalkan praktek semena-mena ini dengan mengeluarkan SK Walikota, Peraturan Pemerintah, Perda, atau apapun namanya. Bersikaplah adil, wahai pemerintah, karena negara ini adalahnegara hukum, dan bukan negara agama. Untuk dihormati, hormatilah orang lain terlebih dahulu. Untuk dihargai, hargailah orang lain terlebih dahulu.

Kepada para OKNUM lemah iman, sadarilah bahwa bulan puasa yang suci ini, seharusnya menjadi kawah chandradimuka untuk membentuk anda menjadi muslim yang sejati, muslim yang paham akan apa yang dipercayai, bukan sekedar karbitan atau muslim KTP. Hadapilah semua cobaan dan godaan, bukan dengan memberangusnya, karena saya yakin, itu merupakan salah satu jalan menjadi manusia yang lebih baik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline