Lihat ke Halaman Asli

Behind the Scene Gempa Mentawai

Diperbarui: 4 Maret 2016   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rabu, 2 Maret 2016 jam 19.49.41 WIB masyarakat Indonesia dan dunia dikejutkan dengan gempa yang terjadi di 5.16 LS – 94.05 BT (Kedalaman 10 Km, 682 km BaratDaya) Kepulauan Mentawai. Meskipun BMKG meralat kekuatan gempa dari 8,3 SR menjadi 7,8 SR tetap saja menjadi berita heboh dan menggemparkan. Wilayah Sumatera Bagian Pesisir Barat, mulai Aceh, Sumut, Sumbar, Bengkulu sampai Lampung di siagakan dengan adanya rilis Potensi Tsunami oleh BMKG meskipun tiga jam setelahnya dicabut kembali oleh BMKG. 

Sebagai orang yang berasal dari Daerah Pesisir Selatan Sumatera Barat, saya langsung menghubungi keluarga yang ada di kampung saat info gempa terjadi dan Alhamdulillah di Pesisir Selatan sendiri gempa tidak terlalu besar yang dirasakan oleh masyarakat setempat dan tidak ada kepanikan. Saya juga dapat menyimpulkan bahwa dengan masih bisa berkomunikasi melalui HP artinya kondisi gempa tidak menyebabkankan kerusakan. Yang menjadi ketakutan berikutnya adalah potensi Tsunami yang di rilis oleh BMKG. Semenjak Tsunami Aceh terjadi, masyarakat Indonesia sudah lebih siap dalam menghadapi kemungkinan terjadinya Tsunami setelah gempa, dan masyarakat akan bergegas menuju daratan yang lebih tinggi atau lokasi-lokasi evakuasi yang sudah disediakan pemerintah.

Kepulauan Mentawai terdiri dari banyak pulau yang belakangan ini sering mengalami gempa. Seorang sahabat tinggal di Pulau Siberut kepulauan Mentawai ini, bisnis otomotif menjadi pilihan hidupnya saat ini. Saat terjadi gempa saya juga menghubunginya, agak susah memang tersambung ke HPnya, tetapi dengan panggilan terus menerus akhirnya dapat tersambung. Tanpa basa-basi saya langsung menanyakan kondisi dia dan keluarganya yang pada saat itu telah berada di tempat pengungsian, daerah yang lebih tinggi yaitu 75 m diatas permukaan laut (dpl). 

Dia memang telah menyiapkan rumah untuk mengungsi jika terjadi gempa bahkan tsunami di daratan yang lebih tinggi. “Doakan kami selamat dari musibah ini” itu kata terakhir dari pembicaraan singkat kami. Cerita rumah untuk mengungsi ini telah diceritakan jauh sebelumnya, sempat saya bertanya “kenapa tidak memilih wilayah yang lebih aman untuk hidup kawan?  kau bisa tinggal di kampung halaman mu di Pariaman” tapi dengan nada optimis dia memberi jawaban “Takdir kawan, takdirlah yang membawaku untuk berjuang di pulau ini, kau kan tahu hampir semua keluargaku ada di pulau ini dan aku pun menikmati  hidup di pulau yang indah ini”. 

Memang, sahabatku ini dari kecil sudah hidup di pulau Siberut. Tugas ayahnya yang seorang pegawai Depag membawa keluarganya menetap di pulau Siberut. Saat masih SMA, kebetulan kami satu kost, sahabatku ini kehilangan Ayah dan Abangnya di Samudera Indonesia saat boat yang mereka gunakan dihantam gelombang. 

Boat nya hancur, Ayah dan Abangnya tak ditemukan sampai saat ini sedangkan dia selamat dengan bantuan jerigen. Saat itu bulan Ramadhan, sekolah kami libur selama Ramadhan, dia menceritakan saat kami masuk sekolah setelah lebaran. Aku tak kuat mendengar ceritanya tapi tak ku nampakkan agar dia menyelesaikan semuanya. Dua atau tiga tahun yang lalu pun, keponakannya juga hilang ditelan gelombang Samudera Indonesia, dia berusaha mencari berbulan-bulan lamanya tapi harapan untuk melihat jasadnya pun tak kesampaian. Takdir memang bicara sesuai ketentuan-Nya.

Pulau Siberut memang menjadi takdir hidup sahabatku ini. Saat lepas SMA kami berpisah, dia merantau dan bekerja di Jakarta sedangkan aku bekerja di Riau. Tapi kurang dari setahun, aku menyusulnya ke tanah Jawa dan kami pun kembali bertemu. Takdir, memang takdir seseorang mesti dijalani. Tak bertahan lama di Jakarta, Sahabatku memutuskan kembali ke pulau Siberut dan menjalani hidup disana. Saat ini memang sikap optimis yang selalu dijaga oleh sahabtku ini. 

Dia optimis hidup di Siberut walaupun banyak getir dan kesedihan disana. Saat terakhir bertemu akhir Januari 2016 lalu (reuni SMA di Puncak, sebelumnya dia dan istri ke Bali) baginya tak ada beban dalam menjalani kehidupan di Pulau Siberut, rutinitas yang dijalani sangat dinikmati terutama hobinya bermain bulu tangkis. 

Soal hobinya ini aku salut deh sama dia, main kemana saja oke. Pernah waktu SMA aku ajak ke kampungku dan dia mengalahkan orang terhebat dikampungku dengan skor yang sangat telak, kami ngakak bersama saat pulangnya dan selalu ingat momen itu jika bertemu atau saat telponan meskipun banyak momen-momen lain yang tak bisa dilupakan saat-saat SMA, saat kehabisan bekal di kostan misalnya atau berpetualang dari pintu ke pintu untuk menyambung hidup.

Untuk Sahabat di Pulau Sikerei, hidup memang harus dinikmati dan harus berjalan lurus sesuai Agama kita. Keep Spirit and keep smile.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline