Lihat ke Halaman Asli

Arman Syarif

Pencinta kopi dan sunyi

Puisi | Puisi untuk Negeri

Diperbarui: 20 April 2019   15:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Menghirup udara sore yang disemprotkan truk usang buram. Mendengar tua renta meradang sesaat, lalu meraung-raung dalam kepedihan, anak cucunya hilang ditelan zaman revolusi industri. Dan aku melihat peluh tukang bentor membanjiri jalan raya. Keluh kesah tukang sayur bergelimpangan di trotoar. Semangat nelayan yang surut digulung ombak.

Langkahku tak henti di bawah kolong langit. Berjalan menyusuri butir-butir hujan yang menusuk wajahku dan di jalan aku bertemu dengan wajah-wajah penerus kekuasaan menghuni pohon rindang. Indah terpajang memanjangkan harapan. Aku terus menggunyam, lalu menggerutu di tengah amukan petir. Dalam diam pikiranku melayang, mengukir protes di awan.

Bahwa tebaran janji palsu harus dihentikan. Politik murahan harus dibebaskan dari sangkar egoistis menuju politik altruistis. Dan atas nama pembangunan, roda ekonomi tak boleh melindas rumah-rumah kumuh, gubuk-gubuk para gelandangan dan anak-anak jalanan. Tak boleh memutus urat nadi kehidupan orang-orang miskin.

Aku bersumpah, kebenaran yang kugoreskan, bukanlah sekadar kritik kosong. Untuk kemajuan negeriku, aku pun bersumpah tak akan pernah lengah, meneriakkan gema perlawanan di lorong-lorong kekuasaan. Tak akan berhenti menulis bait-bait perlawanan, sebagai pengingat kepada mereka yang lupa.

(Catatan langit)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline