Termenung di pangkuan Ibu Pertiwi. Menatap kacaunya langit. Awan hitam berlari saling tabrak berebut arah. Udara datang membawa hawa panas dan beracun.
Siang ini, di pundak waktu aku berdiri dan terpaksa memainkan nada-nada kekacauan, sambil meresapi tangisan lalu halimun yang telah berpisah dengan embun.
Kacau merajai segenap ruang batin karena kicauanmu terus merobek ketenangan anak negeri. Kau tawarkan asa di tepi yang lama kalah, tapi hanya untuk kepentingan sempit.
Kenapa aku harus kacau? Ya iyalah aku harus kacau karena ini negeriku, ada aku di dalamnya ikut terobok-obok oleh tindak-tandukmu.
Kepada emak-emak, tua jompo, petani, nelayan, kaum miskin kota, bahkan generasi milenial, coba kau beraki otaknya dengan fitnah keji, demi ambisi kuasamu.
Maki sini, maki sana, serang sana, serang sini. Lawan ternodai. Lalu mengultuskan diri bagai tak tersentuh dosa; paling suci. Tak peduli sudah banyak ikatan terbelah.
Kau pikir aku akan diam dalam kekacauan? Oh tidak, mulut ini tak akan bungkam melihat manuver dan akrobat politikmu.
Semampu dan semampusku akan kupaparkan kebenaran di kuping saudara sebangsa dan setanah airku.
(Catatan langit, 10 April 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H