Lihat ke Halaman Asli

BLT Poniyem

Diperbarui: 22 Oktober 2015   00:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

             Poniyem tersenyum,lipstik tebal merah menyala di bibirnya. Pipinya merah merona diperlak bedak,matanya beraisyedo empat tingkat sekilas tampak bak petinju yang terkena telak pukulan lawan,lembam! Blus merah tanpa lengan,tanpa kerah hingga sebagian dadanya menonjol keluar,meski tak ranum lagi. Rok sepanjang dua jengkal ketat membungkus perut dan pantatnya,hingga menonjol ke depan,menonjol ke belakang. Ia memandang dirinya di cermin yang tinggal separuh,karena pecah tertimpa tangga ketika memperbaiki genteng yang bocor musim hujan dua bulan lalu ia tersenyum puas.

Poniyem memang belum tua,usianya baru memasuki kepala tiga. Anak lima,suami nya yang kuli bangunan mati tiga tahun lalu terserang penyakit TBC. Si mbok yang sudah tua tinggal bersamanya. Untuk menghidupi anak dan Si mbok pagi ia menjual jamu gendong,sore berjualan kue keliling kampong jalan kaki. Kadang anaknya yang sulung dan dua orang adiknya ikut berjualan kue di sekolahnya sembunyi-sembunyi takut ketahuan ibu kantin yang takut berbagi rejeki. Dia juga mencuci pakaian keluarga pak Sangkot yang memberinya make-up dan pakaian yang dikenakannya kali ini. Kiriman anak pak Sangkot yang artis figuran di ibu kota yang filemnya pernah diputar pada layar tancap waktu tujuh belasan di kelurahan.

            Poniyem janda miskin. Rumahnya hanya satu ruang berdinding tepas. Meski demikian sejak dua bulan lalu,lantainya sudah keramik dengan berbagai corak dan warna. Pemberian dari sisa-sisa pembangunan rumah pak Sangkot,rumah kak Butet tetangganya,dan sisa rumah bapak Asri pemilik toko glosir terbesar di kampungnya,yang sudah beristri empat orang yang mulai sering menggodanya. Lumayan gak usah pakai dipan peninggalan bapaknya yang sudah lapuk tak berkaki dimakan rayap. Sudah bisa langsung geletak tidur di lantai keramik gak takut masuk angin. Sebulan lalu Poniyem diberi Honda bebek tahun 1975-an oleh pak Asri dengan cicilan biar terus bisa bertemu dan menggoda Poniyem janda idamannya. Yang digunakan untuk berjualan keliling kampung.

            Poniyem menuntun Honda bebeknya ke luar rumah. Lima anaknya menunggu ditemani uweknya. Poniyem berjanji pada mereka setelah pulang dari kantor pos akan langsung ke pajak membeli tas sekolah,mengganti sepatu mereka yang sudah tertawa menganga,juga membeli buku dan pakaian seragam. Poniyem memacu Honda bebeknya pelan,dingin pagi mulai menyelimuti kulitnya,bahkan angin mulai iseng memasuki tubuhnya dari ketiak,dada,dan pahanya yang terbuka. Sampai terasa menusuk masuk ke jantungnya hingga bibirnya sedikit bergetar. Ah… coba tadi pakai baju dinas saja (kebaya jual jamu) pasti gak kedinginan seperti ini! Tapikan gak gaya! Poniyem ngedumel sendiri.

            Sampai di kantor pos Poniyem memarkir Honda bebeknya. Di loket pengambilan uang dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) sekitar 50 0rang sudah antri. Meski baru jam 07.00 Poniyem berdiri di barisan paling belakang. Antri bersama warga miskin seperti dirinya dan warga yang berpura-pura miskin. Jam 09.00 petugas mulai bekerja. Ruang kantor pos yang sempit penuh sesak. Tiga jam sudah Poniyem antri udara yang terik,ditambah C02 yang keluar dari hidung sekitar 70 orang menambah gerahnya suasana. Keringat keluar dari seluruh pori-pori. Merusak make-up di wajahnya. Kaki Poniyem terasa kaku kesemutan. Akhirnya tiba juga Ponitem di depan loket. Ia menyodorkan kartu BLT kepada petugas.

“Ibu Iyem !”

“Maaf mas panggil Mbak Poni saja !” Poniyem senyum menggoda.

“Maaf Ibu I…eh Mbak Poni,kartu Mbak di blokir.”

“Kok di blokir? Maksud Mas?”

“Ya sudah di tutup.”

“Ini dah gak betul,ni pasti ada kesalahan!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline