Lihat ke Halaman Asli

Kepada Pak Jokowi dan Pak Ahok: Sebuah Surat Terbuka...

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya syukuri terpilihnya Pak Jokowi sebagai Presiden dan naiknya Pak Ahok menjadi Gubernur DKI. Dua sosok rakyat biasa yang akhirnya bisa meraih tampuk pemerintahan tertinggi di Indonesia dan di Jakarta.

Segera dilantiknya Pak Jokowi menjadi Presiden, dan Pak Ahok sebagaiGubernur, untuk saya bagaikan seberkas cahaya harapan di ujung lorong gelap kehidupan keluarga kami dalam berhadapan dengan birokrasi Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan penegakan hukum di Indonesia.

Saya berharap naiknya Bapak berdua adalah jawaban dari doa saya sejak 1994...

Dulu Bapak-Bapak punya pengalaman kerap mengalami perlakuan tidak adil dalam menghadapi pihak penguasa... Itu modal luar biasa bagi Bapak berdua sebagai pemimpin untuk bisa menghayati derita rakyat kecil yang menghadapi tembok keras kekuasaan.

Keluarga kami telah mengalami kezaliman dan kebathilan bertubi-tubi dari oknum-oknum birokrasi Pemda DKI Jakarta, khususnya dari Badan Pertanahan dan Dinas Perumahan DKI Jakarta. Juga dari hakim Pengadilan Banding Tata Usaha Negara Jakarta.

Sebagai korban kesewenangan birokrasi sejak 1992, kami sangat berharap mendapat perhatian, perlindungan serta penyelesaian yang adil dari Bapak Ahok selaku Pemimpin DKI Jakarta, serta dari Pak Jokowi selaku Presiden RI yang pernah merasakan pahitnya sebagai korban penggusuran di Solo.

Cerita nasib saya adalah sebagai berikut:

Pada tahun 1950, ketika ayah saya bekerja sebagai Wakil Kepala Urusan Pegawai HOB (Huisvesting Organisatie Batavia = Urusan Perumahan Djakarta) beliau memperoleh rumah VB Jl HOS Cokroaminoto (Jakarta Pusat). Seumur hidupnya beliau tidak pernah memiliki rumah lain selain dari rumah yang saat ini saya huni dan yang menjadi objek sengketa ini. Luas asli bangunan VB adalah 22 m2 kemudian diperluas hingga 250 m2 karena memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pada 1960.

Beliau selalu membayar sewa kepada pemilik warga Belanda hingga 1980 melalui perwakilannya, PT Versluis Nusantara, kemudian kepada Dinas Perumahan hingga 2006, selain juga membayar Ipeda (sekarang PBB) sejak awal hingga 2014, tanpa pernah menunggak.

Pada awal 1980-an ayah saya mengajukan permohonan untuk memperoleh sertifikat HGB, namun ditolak secara lisan oleh Badan Agraria DKI Jakarta, dengan alasan ada Pihak Lain (PL) yang mengklaim kepemilikannya. Jadi ayah saya diminta melakukan negosiasi dengan PL tersebut.

Pada 1986, kami mendapat tembusan surat dari Kepala Kantor Agraria Jakarta Pusat yang berisi penolakan terhadap permohonan Pihak Lain (PL) untuk membuat sertifikat HGB atas tanah yg kami tempati. Kantor Agraria meminta PL itu bernegosiasi terlebih dulu dengan ayah saya.

Anehnya PL itu akhirnya berhasil memperoleh HGB atas tanah ini pada tahun 1992. Dalih Badan Pertanahan Jakarta karena PL itu pernah memiliki HGB atas tanah ini pada thn 1973 yang berakhir pada 1980.

Pemberian HGB 1992 kepada Pihak Lain (PL) itu cacat hukum, karena :

1. PL membuat pernyataan tertulis di atas meterai (dalam formulir pendaftaran HGB) yang menyatakan tidak ada persengketaan atas tanah ini. Padahal di pengadilan Perdata mereka mengakui ada sengketa sejak 1970-an dengan ayah saya. Selain itu ada persaingan untuk memperoleh HGB pada 1980-an.

2. Menurut Keppres 32/1979dan PeraturanMenteri Dalam Negeri3/1979, prioritas memperoleh HGB tanah eks Belanda ada pada penghuni de facto (yaitu keluarga kami), yang sudah menghuninya secara legal sejak 1950. Sedangkan PL tidak pernah menempati tanah tersebut.

3. Petugas pengukuran dari Kantor Agraria melakukan pemalsuan laporan pengukuran tanah, karena dia tidak pernah mengukur tanah kediaman kami.

4. HGB 1973 yang disebut sebagai dasar pemberian HGB 1992 mengandung cacat hukum, karena di dalamnya tercantum tanah tersebut berlokasi di Kelurahan Menteng, padahal tanah sengketa ini berada di Kelurahan Gondangdia.

Ayah saya menggugat keabsahan HGB tsb pada 1994. Karena tidak paham hukum, ayah saya menggugat di Peradilan Perdata, yang akhirnya memutuskan tidak berwenang menguji keabsahan sertifikat HGB itu.

PL menggugat balik (gugat rekonvesi), dan menuntut agar Pengadilan menyatakan mereka sebagai pemilik tanah tersebut. Permintaan itu dikabulkan, tapi Pengadilan juga menyatakan bahwa penghunian keluarga kami adalah "penghunian dengan cara sewa-menyewa dengan pemilik yang berlangsung demi hukum." (Putusan PN No.500/Pdt.G/1994/PN.Jkt.Pst)

Putusan Pengadilan Tinggi dan putusan Mahkamah Agung serta permohonan PK ke Mahkamah Agung (pada tahun 2004) menguatkan keputusan Pengadilan Negeri.

Setelah ayah saya wafat pada 2006, pada Agustus 2007 Ahli Waris Pihak Lain (AWPL) mengajukan permohonan kepada Dinas Perumahan DKI Jakarta agar rumah yang kami huni dikosongkan.

Sebelumnya AWPL sempat menggunakan Satpol PP untuk mengintimidasi kami.

Ketika Dinas Perumahan mempertemukan kedua belah pihak, kami menyatakan bersedia keluar, asal sesuai peraturan yang berlaku, yaitu Peraturan Menteri Sosial no 11 thn 1977 pasal 3, yang isinya menyatakan bahwa penyewa berhak memperoleh kompensasi minimal 50 % dari nilai tanah yang ditempati.

Karena pihak (AWPL) menolak nilai kompensasi tsb, akhirnya Dinas Perumahan menerbitkan SKno 142/2008 (23 Mei 2008), yang isinya antara lain :

a.Mencabut SIP (Surat Izin Perumahan) kami

b.Memerintahkan kepada kami mengosongkan rumah di Jl HOS Cokroaminoto, Kelurahan Gondangdia, Jakarta Pusat, dengan kompensasi Rp 100 juta.

Sekedar catatan, luas tanah yang kami tempati sekitar 500 m2 dan berjarak hanya 500 m dari gedung Balaikota DKI Jakarta.

SK tersebut jelas melanggar PP No. 55/81 pasal 10 ayat (3), yaitu:

Penghentian hubungan sewa-menyewa perumahan tanpa kata sepakat kedua belah pihak hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan negeri.

SK Dinas Perumahan juga jelas melawan hukum karena bertentangan dengan keputusan Pengadilan Perdata yg sudah berkekuatan tetap, menghapus kewajiban Ahli Waris Pihak Lain untuk membayar kompensasi 50 %(sangat menguntungkan AWPL) dan menindas kami sekeluarga yang tidak mempunya rumah lain.

Keluarga kami mengajukan gugatan pembatalan SK tersebut ke Pengadilan TUN pada 7 Juli 2008.

Saking bersemangatnya Dinas Perumahan DKI Jakarta, sementara masih dalam proses sidang di PTUN, keluar surat peringatan ke-2 dan ke-3(tgl 13 Oktober 2008) untuk pengosongan rumah. Sesuai aturan, 2 minggu setelah peringatan ke-3 akan dilakukan tindakan pengosongan paksa oleh Dinas Perumahan.

Untunglah pada 21 Oktober 2008 Pengadilan TUNmenerbitkan Amar Putusan yang intinya membatalkan SK itu (no perkara 92/G/2008/PTUN-JKT).

Atas keputusan PTUN tsb Dinas Perumahan melakukan banding ke Pengadilan Tinggi TUNpada 3 Nov 2008. Pada10 Maret 2009 Pengadilan TinggiTUN Jakarta menerbitkan amar putusan yang intinya membatalkan putusan PTUN Jakarta.

Kami berpandangan putusan Pengadilan Tinggi TUN ceroboh karena mengabaikan PP No. 55/81 pasal 10 ayat (3) dan keputusan Pengadilan Perdata yang menyatakan kami sebagai penyewa yang sah secara hukum.

Kami mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Agustus 2009 dan telah diputuskan NO pada 2 Maret 2011, yang intinya MA berpendapat bahwa perkara ini hanya bisa diproses sampai Pengadilan Banding.

Kami (saya dan kakak wanita saya) kini terancam jadi gelandangan karena harus meninggalkan satu-satunya tempat tinggal kami yang telah dihuni oleh keluarga kami sejak 1950. Meski kami tinggal di daerah “Menteng”, kami (saya dan kakak wanita saya) tergolonghidup dengan sangat sederhana.

Sebagai catatan : ayah kami (dr H Tarmizi Kamal) telah mengabdi kepada negara sebagai Tentara Pelajar pada masa perjuangan kemerdekaan dan sebagai Pegawai Negeri Sipil selama 30 tahun (sebagai pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) dan mendapat bintang penghargaan atas pengabdiannya dari Presiden RI.

Sebagai mantan korban penggusuran, tentunya Pak Jokowi bisa merasakan betapa sakitnya hal ini, apalagi terjadi karena penyalahgunaan wewenang oleh oknum pejabat Negara.

Saya telah menyurati Pak Ahok tiga kali dalam rangka meminta perlindungan. Mungkin karena kesibukannyayang luar biasa ketika ditinggal Pak Jokowi pada masa Pilpres, maka tampaknya beliau belumsempat memberi perhatian maksimal atas kasus ini, sehingga beliau belummenemukan solusi yang tepat.

Namun saya tetap berharap Pak Ahok bisa memberi pengarahan agar aparat di bawahnya bisa berlaku adil dan tidak menjadi alat siapa pun untuk menekan rakyat yang lemah.

Saya selalu berdoa kepada Tuhan ygMaha Menatap, agarkami bisa selalu mendapat perlindungan, dan khususnyasaat ini perlindungan serta perhatian Pak Jokowi dan Pak Ahok, agar Bapak berdua terbuka hatinyauntuk melindungi dan membela hak-hak kami sebagai warga negara yang taat hukum dari tindakan sewenang-wenang oknum-oknum aparat Pemerintah.

Saya jadi teringat nasihat Pak Kim Nam (ayah Ahok) :"Jika tidak setuju terhadap ‘sesuatu’ maka ubahlah, jangan lari. Orang miskin jangan lawan orang kaya, orang kaya jangan lawan pejabat.”

Dan tentunya pejabat yang baik adalah mereka yang mengunakan kekuatan dan kekuasaannya untuk menegakan keadilan, mensejahterakan rakyat, dan melindungi rakyat dari ketakutan akibat kesewenang-wenangan oknum pejabat.

Kini adalah jaman kepemimpinan yang berakar dari rakyat. Pak Jokowi dari rakyat, “Jokowi adalah kita”. Pak Ahok juga dari rakyat dan dari golongan minoritas yang akrab dengan kesemena-menaan kekuasaan.... Saya juga berharap "Pak Ahok adalah kita".

Selamat untuk Pak Jokowi dan Pak Ahok dalam mengemban tugas barunya sebagai pengayom rakyat. Saya doakan agar Bapak berdua diberi kemudahan, kekuatan, ketabahan, kesehatan, kedamaian, kebahagian dan ridho dan berkah Tuhan dalam menjalankan tugas mengemban amanat dari rakyat Indonesia...
Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih melindungi dan mengabulkan doa kami. Aamiin Aamiin ya Rabbal Alamin.

Arman tarmizi

Email : onenewbie@hotmail.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline