Saking banyaknya variabel kalau bicara perkara sulit dapat kerja, pengangguran, kurangnya keterampilan pekerja, dan sejenisnya, saya sempat kebingungan mau menulis pakai perspektif apa. Ini urusan komplet yang bahkan pemerintah, mungkin, akan ketar-ketir jika membahasnya.
Siapa saya yang hanya remahan rengginang berani membahas ihwal sukarnya mendapat pekerjaan di zaman ini?
Namun, jelek-jelek begini saya juga merupakan seorang pekerja pada bidang swasta yang sering bimbang kalau harga bahan kebutuhan pokok menjulang tinggi.
Saya pun seorang pria yang pernah merasakan seolah-olah menjadi orang tak berguna gara-gara menjadi pengangguran pada masa lalu, karena perusahaan-perusahaan hanya menerima sedikit karyawan saja. Mungkin atas dasar itu saya boleh sedikit beropini tentang apa yang terjadi.
Supaya semakin semangat, ada baiknya kita membaca artikel "BRIN Soroti Jumlah Pekerja Asal China yang Tidak Sebanding dengan Investasi" (voaindonesia.com, 30/10/2023).
Menurut seorang peneliti dari BRIN, Triyono, menyatakan jumlah pekerja asing dari China sebanyak 59.320 orang, atau 44,49 persen dari total pekerja asing.
Pada tahun 2022, Singapura menjadi investor terbesar di Indonesia ($13,28 miliar). Negara tersebut hanya menempatkan 1.811 orang tenaga kerja (1,35 persen dari total pekerja asing. Sementara itu China yang lebih rendah jumlah investasinya ($8,22 miliar), malah mengirim lebih banyak tenaga kerja.
Bagaimana? Masih semangat? Kalau saya sejujurnya tidak semangat.
Jadi kalau dipikir baik-baik, sebenarnya peluang kerja di negara kita tidak susah-susah amat. Sayangnya, mungkin, bukan untuk kita. Mungkin, ya.
Selain itu saya semakin tercenung perihal PHK yang terjadi. Saya membaca artikel "Daftar 8 Perusahaan Tanah Air yang PHK Massal Sejak 2023" (finance.detik.com, 14/06/2023), dan terkejut jumlah pekerja yang terkena PHK tak main-main.