Lihat ke Halaman Asli

Dicky Armando

Orang Biasa

Sejatinya, Memaafkan Hanyalah Ilusi bagi Mereka yang Tak Mengerti

Diperbarui: 13 Agustus 2024   18:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Pixabay.com 

Apakah Anda masih ingat kasus kekerasan yang dialami seorang siswa di sekolah tinggi tertentu pada tahun 2000-an? Nah, setelah tahun kejadian itu, seorang teman baik saya berhasil mengenyam pendidikan di sana. Namanya Dudun (bukan nama asli).

Uniknya, ia masih merasakan kekerasan dengan dalih pembinaan yang dilakukan oleh oknum senior di kampus meski tidak intens. Mengenai hal ini, Dudun pernah mengatakan sesuatu kepada saya: "Melihat atap kampus dari kejauhan saja, saya sudah merasa mual. Mau muntah!"

Dudun mengatakan itu satu hari sebelum keberangkatannya kembali masuk ke asrama kampus. Karena saya tidak memahami apa yang dirasakannya, saya berkata sembarangan saja: "Kau terlalu berlebihan. Masa segitu saja kau sudah lemah?"

Ya ... dulu saya memang bodoh: sering merasa pintar padahal biasa saja, dan tidak punya empati kepada orang lain. Saya bersalah kepada Dudun dengan mengatakan hal yang tak pantas.

Maka, barangkali saya mendapat ujian "trauma" seperti yang dirasakan Dudun. Waktu itu saya difitnah oleh lebih dari satu orang di suatu tempat kerja, pada tahun 2021. Akhirnya saya memutuskan resign setelah mendapatkan penghinaan terhadap pribadi saya (bukan hasil kerja) oleh general manager di kantor tersebut.

Substansi kalimat penghinaannya kira-kira seperti ini: "Kau jangan bikin ulah dan bertingkah, masih ada anak-istrimu yang harus kau beri makan."

Fitnah-fitnah lain yang ditujukan kepada saya, masih mampu saya tahan, namun ketika sudah menyentuh urusan keluarga yang sama sekali tak ada urusannya dengan pekerjaan, maka itu berarti "sudah saatnya".

Kala itu, saya masuk kerja jam 11 malam, dan pulang jam 7 pagi. Jadi, biasanya jam 8 atau 9 malam, saya selalu tidur selama 30 sampai 60 menit supaya bisa bekerja secara maksimal.

Setelah saya mengundurkan diri dari pekerjaan tersebut, 1 tahun setelahnya saya masih melakukan "rutinitas tidur" tersebut dengan tanda tanya di hati bentuk kesalahan macam apa lagi yang akan mereka tuduhkan kepada saya. Ya ... mungkin ini yang dinamakan trauma, pertama kalinya saya difitnah oleh orang-orang di sekitar saya.

Maka saya sekarang seratus persen membenarkan pernyataan Dudun bahwa trauma adalah nyata. Bukan omong kosong.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline