"Fokus Program Bank Dunia saat ini berbasis tiga pilar, yaitu menjaga kalangan yang membutuhkan, mendukung dan menyelamatkan lapangan kerja, serta membantu negara berkembang mengimplementasikan operasi darurat untuk memperkuat ekonomi negara," ujar David Malpass.
Kalimat dari presiden Bank Dunia tersebut saya kutip dari artikel berjudul "Bank Dunia Sebut Ekonomi Dunia Berpotensi Alami Resesi Lebih Dalam Akibat Corona". Terbit di liputan6(dot)com pada tanggal 18 April 2020.
Peryataan resmi dari lembaga keuangan dunia saja seperti itu, artinya setiap negara---idealnya---telah memiliki tindakan dan kebijakan yang seratus persen berpihak kepada seluruh rakyat. Pertanyaannya: "Bagaimana jika ada negara yang sangat lambat menangani perekonomian bagi rakyatnya?"
Coba Anda jawab dengan jujur, bawa serta hati nurani. "Apakah kita mengenal adanya suatu pemerintahan yang begitu lambat memberikan pertolongan ekonomis kepada masyarakatnya?"
Negara, dalam hal ini pemerintah Indonesia, setidaknya tidak perlu mengkhawatirkan masyarakat seperti saya. Mengapa? Karena saya termasuk satu dari sekian banyak orang yang tidak sanggup mengganggu stabilitas perekonomian. Sebentar lagi akan saya jabarkan.
Pertama, saya belum memiliki cukup uang untuk menimbun barang-barang kebutuhan pokok. Tepatnya, saya adalah pihak yang kebingungan dan khawatir jika ada oknum menimbun barang, yang menyebabkan harga melonjak.
Kedua, saya belum bisa melakukan penarikan besar-besaran terhadap simpanan tabungan di bank. Hal itu disebabkan karena memang tidak ada lagi yang tersisa. Tidak, percayalah, saya sedang tidak menyombongkan diri, uang gaji berlalu begitu saja dari rekening tabungan itu. Rush? Saya pikir itu hanya mimpi belaka.
Ketiga, andai saja saya bisa mengambil keuntungan besar dari situasi yang mencekik siapa pun seperti masa sekarang ini, pasti dompet saya sudah lebih tebal dari biasanya. Masalahnya adalah: masyarakat di tempat saya tinggal juga mengalami kesulitan yang sangat pelik. Katakanlah saya menjual masker dengan harga tinggi, mereka juga tidak sanggup beli. Jadi percuma saja saya berusaha mengambil keuntungan dalam kekacauan. Dosanya tak sebanding dengan untung yang didapat.
Keempat, biaya hidup yang tidak bisa dibilang murah membuat saya hanya bisa sedikit menyisihkan uang untuk menabung, dan ketika Covid-19 ini berkepanjangan sampai ini hari, uang tersebut menghilang seperti hantu. Singkat cerita, yang disebut Panic Selling atau Panic Redeeming itu adalah cerita dongeng buat saya.
Lihat? Betapa saya bukan ancaman bagi stabilitas keuangan negara! Pepatah anonim pernah berkata: "Bahkan di dalam kegelapan, selalu ada setitik cahaya." Seperti hal-nya saya---dan mungkin jutaan orang lain---yang benar-benar merasa menjadi warga negara yang baik saat ini: bukan ancaman, senang "rebahan", dan seorang introvert.