Pagi itu rasa malas seakan memeluk erat sekujur tubuhku, seakan ia tak rela aku terbangun dari ranjang reyod yang sudah lama menemani.
Ditambah dingin yang menusuk sampai ke tulang sum-sum semakin hangat rasanya pelukan rasa malas tersebut, yang konon ia selalu datang kepada setiap manusia.
Pun, kehangatan bertambah saat selimut yang bertambah banyak bolongnya itu seakan menyatu dengan kulitku. Namun, rasa malas itu pergi dengan kilat saat terdengar suara sayup seorang perempuan memanggil namaku.
Dia adalah Ibuku, yang waktu itu usianya sekitar tiga puluh lima tahun, usia produktif dan terbilang kuat selalu semangat dalam menjalani kehidupan walaupun dengan segala keterbatasannya yang ia miliki.
"Rita!!! Rita!!! gera hudang, ges setengah geneup," ia membangagunkanku dengan sedikit berteriak, maklum aku punya kebiasaan susah untuk bangun dari tempat tidur "kebluk".
"Enya iyeu ges hudang," jawabku dengan mata masih tertutup.
Perlahan aku beranjak dari kamar tidurku yang berukuran sekitar tiga kali dua meter setengah, serta berdinding bambu "bilik" dan berlantaikan bambu "talupuh".
Lalu aku beranjak ke "jamban" yang hampir sekitar seratus lima puluh meter dari rumahku. "Jamban tersebut adalah jamban warga yang dimiliki oleh salah seoarang warga Desa Cimungkal.
Walaupun mandi pagi rutinitas yang biasa aku kerjakan namun tetap saja aku merasakan menggigil kedinginan.
Selesai mandi kusempatkan sholat subuh walaupun agak sedikit kesiangan, namun tak mengurangi khusu dalam sholatku.