Lihat ke Halaman Asli

Galau!

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Remaja saat ini adalah generasi yang hidup dalam kehidupan yang lebih ekspresif. Hal ini terlihat dari banyaknya remaja yang menunjukkan eksistensinya dalam ruang-ruang publik. Fenomena maraknya boy dan girl band,di kalangan remaja termasuk ajang pencarian bakat yang selalu dibanjiri remaja seakan memaparkan bukti bahwa remaja kini ingin menyatakan kediriannya. Remaja dalam psikologi perkembangan, menurut Ericsson merupakan fase –fase kritis seorang manusia dalam mencari jati diri dan identitasnya.

Identitas diri, lanjut diri dapat dihasilkan dari kepercayaan atas nilai-nilai masa kecil atau dapat pula berasal dari lingkungan yang lebih konformis terhadap nilai-nilai baru yang akan dianut. Remaja yang berhasil dalam perkembangannya, akan menujukkan kesiapan untuk menerima hal-hal baru secara bertanggung jawab, dan mampu melakukan adaptasi terhadap lingkungan sebaya sebaliknya, ketidakmampuan dalam memenuhi tugas perkembangan diri, akan menghasilkan pribadi-pribadi yang tidak matang, kesulitan dalam mengatasi permasalahan berikut respon yang ditunjukkan ketika mengalami ketidakberdayaan.


Kenyataannya, tanpa mengurangi apresiasi terhadap prestasi-prestasi yang diukirremaja saat ini, seperti halnya juara olimpiade tingkat internasional, penciptaan inovasi teknologi utamanya prototype moda trasportasi nasional dan robot, sesungguhnya ada hal lain yang cukup menggelisahkan kita tentang kenyataan merosotnya perkembangan emosional remaja secara keseluruhan. Maraknya tindak kriminalitas yang didasarkan pada peilaku agresfif yang sifatnya individual atau berkelompok, seperti halnya kejahatan geng motor yang didominasi pelaku dari remaja, akses video-video porno yang tidak tertanggulangi,maraknya konsumsi dan peredaran narkoba yang sudah sangat dekat dari dapur rumah, berlanjut pada tindakan asusila lainnya seakan ingin menyatakan bahwa persoalan emosional tidak boleh dikesampingkan.

Daniel Goleman dalam bukunya yang fenomenal berjudul“Emotional Intelligence: Why it can matter more than IQ” (1995) menyatakan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) bila tidak disertai dengan pengolahan emosi yang baik tidak akan menghasilkan seseorang sukses dalam hidupnya. Peranan IQ hanyalah sekitar 20% untuk menopang kesuksesan hidup seseorang, sedangkan 80% lainnya ditentukan oleh faktor yang lain.

Selanjutnya ia mengatakan bahwa pentingnya pengelolaan emosi bagi manusia dalam pengambilan keputusan bertindak adalah sama pentingnya, bahkan seringkali lebih penting daripada nalar, karena menurutnya, kecerdasan intelektual tidak berarti apa-apa bila emosi yang berkuasa.Bagaimana kita dapat secara akurat menilai labilitas emosional seseorang ? meskipun tidak didahului dengan penggunaan alat-alat psikodiagnostik, kita bisa mendapatkan gambaran labilitas emosional remaja, secara jelas terekspresikan melalui penggambaran kesulitan hidup yang mereka alami melalui artikulasi istilah-istilah yang cenderung diungkapkan dalam ranah publik seperti halnya dalam jejaring sosial,semisal dalam facebook, twitter dan lain sebagainya. Termasuk diantara kata-kata yang paling popular sekaligus dianggap paling mendekati makna ketidakberdayaan tersebut adalah GALAU!


Pengertian Galau itu sendiri dalam kamus bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh pusat bahasa Departemen pendidikan nasional terbitan 2008 merujuk pada pengertian sibuk beramai-ramai,sangat ramai :berkacau (tidak keruan).Dalam konteks saat ini, pengertian galau sebagai berkacau atau tidak karuan tampaknya lebih mewakili gambaran galau saat ini. Galau seringkali menjadi begitu dekat secara kognisi dengan gambaran kegundahan, kegelisahan, yang tentu saja cukup merujuk pada suasana/keadaan hati yang tidak karuan.

Sebagai bentuk keadaan hati, bukankah galau atau suasana hati yang tidak karuan tersebut nampak manusiawi?tentang hal tersebut,menyitir pandanganJulian short dalam bukunya An Intelligent Life (2006), bahwa suasana hati yang tidak karuan atau (mungkin) gelisah merupakan emosi utama untuk bertahan hidup sekaligus sistem deteksi dini alami. Menurut Julian, justru dengan hadirnya perasaan tidak karuan tersebut, otak kera kita mengirimkan pesan rasa tidak nyaman yang amat besar,sehingga anda berkeinginan untuk lepas dari perasaan ini.

Pada titik tersebut, galau bisa menjadi bagian integral dari humanisme seseorang,namun pada nyatanya, kegalauan yang bervolusi menjadi begitu menakutkannya, justru semakin membuat kita nyaman berada didalamnya. kita tidak berusaha lari darinya bahkan membiarkan ancaman secara nyata datang.begitu ancaman itu benar-benar datang, kita merasa tidak mampu melakukan apapun dan akan pasrah menjadi korban yang pasif.Seperti itulah gambaran bagaimana sebagian dari remaja kita (atau kita sendiri) merasakan kegalauannya, individualitas yang meninggi seolah membuat mereka yakin bahwa persoalannya berada dalam tingkat kesulitan yang luar biasa, dan mereka menjadi pribadi yang luar biasa menderita karenanya. Umpatan-umpatanberikut pernyataan-pernyataan kegelisahan, lirihan bernada sendu di jejaring sosial sebagaimana sendunya alunan musik yang mereka dengarkan, menghanyutkan mereka dalam penggambaran kreatif yang menyakitkan dari masalah mereka.Betapapun itu, seperti halnya dua sisi mata uang, kondisi galau dapat membuat kita berusaha lebih keras, tapi kegelisahan juga bisa menjadi batu sandungan.

(Makassar,3Juni2012)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline