Dibuai konsep yang melambung
Isu ‘kembali ke alam’, green, organik, eco dan seterusnya, menurut saya, isu yang hanya mengkilat sebagai slogan namun detailnya luput. Isu-isu tadi, oleh sebab keluasan spektrumnya, dalam tulisan ini saya kerucutkan ke satu aspek saja : pertanian.
Meski terlambat, tulisan ini bolehlah disebut kesaksian, mungkin testimoni. Kesaksian seorang petani yang pada fase tertentu merasa harus mengoreksi cara-cara bertani sebelumnya. Beralih term, dari kimiawi menuju non kimiawi. Alasan utamanya, sebagai petani, tentu pertimbangan pendapatan atau hasil.
Kalkulasi selisih aneka biaya produksi dengan pendapatan sektor ini dari tahun ke tahun menunjukkan angka yang stagnan. Terlebih, pertanian eksploitatif yang padat modal, berorientasi instan atau berskala industri. Yang notabene memiliki ketergantungan tinggi terhadap produk-produk ready to use pabrikan. Mulai benih, bibit, pupuk, obat-obatan sampai teknologi penanggulangan hama dan penyakit. Semuanya berbiaya tinggi, sementara harga-harga komoditas yang dihasilkan, kita tahu, cendrung di kisaran itu-itu saja.
Pertanian adalah kebudayaan. Sebagai budaya, ia dinamis. Fitrah ‘Indonesia negara agraris’, apa boleh buat, kita lupakan (baca : maafkan) dulu. Sebagai ilustrasi, saya ambil contoh subak di Bali. Sistem tata kelola air ini, sebagai institusi tradisional makin kerdil. Mengecil dalam hal luasan, melemah soal posisi tawar.
Kasus demikian terjadi hampir di seluruh wilayah pertanian di tanah air, dengan karakteristik, tingkat kegawatan plus cara-cara penanganan berbeda. Untuk menyebut contoh : kasus semen Rembang, petani-petani Kutai Kertanegara yang harus ‘tahu diri’ mengalah demi tambang.
Tawaran metode lain
Selain peralihan fungsi lahan, juga perubahan mata pencarian (dari pertanian ke non pertanian), kendala besar sektor ini sebagaimana saya sebut dalam paragraf di atas adalah tingginya biaya produksi yang tidak sepadan dengan pendapatan yang diperoleh.
Nah, selagi tersedia pilihan-pilihan cara lain buat mensiasatinya, kenapa tidak? Memang, mengubah orientasi, merekonstruksi cara pandang hingga laku penerapannya di lapangan, dari pola-pola konvensional lama ke cara-cara baru, tidak mudah. Semacam sindrom shock culture. Untuk ukuran saya, peralihan kultur ini butuh ‘stamina’ yang spartan.
Bagaimana saya harus memutus segala ketergantungan kepada produk-produk yang selama ini saya akrabi. Bagaimana saya memasang ancang-ancang, supaya tidak goyah, untuk tindak-tanduk atau berbagai perilaku dalam memasuki kultur baru tersebut.
Setahun dua tahun saya mulai terbiasa. Sekitar tahun ketiga, hasilnya mulai tampak terutama pada item biaya produksi yang dengan ekstrim bisa saya tekan dibarengi peningkatan volume hasil yang saya dapatkan. Sampai tahun ketujuh (tahun ini) praktis tidak ada kendala apapun yang saya temui.