Lihat ke Halaman Asli

PSSI dan Kado Pahit Itu

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Hari ini, 19 April 2015, dalam usianya yang ke 85, PSSI mendapat kado pahit : pembekuan. Sehari sebelumnya, pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pemuda dan Olahraga melalui Keputusan Menpora RI Nomor 01307 Tahun 2015 (ditandatangani 17 April) menyatakan tidak lagi mengakui keabsahan organisasi ini dengan segala bentuk aktivitasnya.

Kita tidak tahu adakah tindakan (pembekuan) itu efektif, maksud saya, akankah berdampak baik bagi kelangsungan persepakbolaan Nasional kita nantinya?Layak ditunggu, sambil tetap menggantungkan harapan besar PSSI suatu saat kembali menemukan titik ‘cairnya’.Bukan menuju ke kemungkinan lain, organisasi ini  mengalami hibernasi, awet beku alias tamat dari kemungkinannya menjadi sehat kembali. Untuk yang terakhir ini mudah-mudahan saya salah.

Dari sisi terobosan sikap, apa pun hasilnya, pemerintah patut diacungi jempol. “Fondasi perubahan tata kelola sepak bola nasional akan segera kita mulai….,” kata Menpora Imam Nahrawi dalam sebuah kesempatan.Bicara fondasi, kata yang berarti dasar, kita menangkap ada yang genting dan mendesak dibenahi di sana.Hemat saya, sebagai penggemar dan pencinta berat olah raga ini, pada saat stok kesabaran dan upaya-upaya perbaikan di lingkaran ini habis, pembekuan kiranya sebuah alternatif jitu.

Perjalanan delapan puluh lima tahun (didirikan pada 1930), yang bahkan lebih tua dari usia republik ini, terlalu njlimet untuk diurai. Di tengah semua yang bergegas, naif rasanya kalau kita hanya bisa menghibur diri dengan ingatan tentang masa-masa emas sepakbola kita, atau betapa mashyur prestasi cabang olah raga rakyat ini semasa menyandang nama Hindia Belanda.Fakta paling sahih yang tidak bisa kita bantah, hari ini kita ada di belakang Timor Leste, tepatnya di posisi 159 peringkat FIFA, dan itu cukup menjelaskan ‘di mana’ kita.

Sementara organisasi sepakbola negara-negara lain berbenah, kita banyak mandeg. Untuk menyebut beberapa negara, di Asia saja, seperti Jepang, Tiongkok, Korea, bahkan Malaysia, mereka punya mekanisme penyelenggaraan liga yang teratur, infrastruktur memadai, manajemen organisasi yang secara regular dievaluasi serta segala bentuk kultur perilaku menyehatkan lainnya sesuai semangat olah raga itu sendiri.

Bukannya hendak menempatkansepak bola sebagai urusan maha genting di negeri luas berpenduduk ratusan juta ini.Saya hanya ingin mengorat-oret sebuah kesimpulan ringan, bagaimana sebuah organisasi besar, milik sebuah bangsa besar pula dikelola. Perkara kusut sepak bola Nasional kita sebetulnya, kalau boleh ada yang disebut dramatis, sudah membunuh sekian impian anak kecil yang terobsesi menjadi pemain bola, yang kalau mungkin, setenar pemain-pemain pujaan mereka.Tidak ada yang salah dengan impian, bukan?

Kita terlalu sibuk, hilang kepekaan untuk dapat menangkap nyala di kepala mereka ketika di sebuah sore, di atas tanah datar seadanya mereka memainkan bola plastik, mengenakan kostum-kostum bola kumal bertuliskan pemain-pemai besar ‘Ibrahimovic’, ‘Rooney’, ‘Messi’, ‘Ronaldo’.Jika nama-nama pesohor bola itu impian mereka, kita sudah membatasi impian mereka dengan mengatakan ‘cukup sebagai mimpi saja’.

Selamat Ulang Tahun PSSI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline