Lihat ke Halaman Asli

Panggilan Dari Gunung

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Manusia nusantara, sepanjang peradabannya memaknai gunung sebagaimana bayi menyuntuki susu ibunya.Sebuah gunung tak semata tumpukan material, gugusan tanah menjulang sekian ribu meter dari permukaan laut. Lebih dari itu, kehadiran gunung tidak lepas dari perspektif transenden, pemikiran nirnalar --- dengan berbagai kekhasan hubungannya dengan manusia.

Gunung, pada puncaknya yang menjulang dianggap sebagai dimensi paling mewakili, paling memungkinkan untuk menjangkau apa yang diidentikan dengan ketinggian : kesucian, kemuliaan, keluhuran budi.Manusia, kita tahu, memiliki obsesivitas tertentu akan ketinggian. Di luar gunung sebagai sosok harfiahnya, ada simbol-simbol ketinggian yang sengaja dibuat manusia.Untuk menyebut beberapa diantaranya : pagoda di Birma dan Thailand, bangunan zigurat di Mesopotamia, stupa di Jawa dan India.

Kosmologi gunung, terutama di Jawa dan Bali, barangkali berpangkal dari esensi animisme yang menganggap/mempercayai setiap benda sebagai kekuatan kosmis-mistis, dengan gunung sebagai porosnya.Demikian relasi antar benda tadi seolah “percakapan” yang intens --- terus menerus.

Maka ketika sebuah gunung berapi meletus, diluar dampak yang ditimbulkannya, banyak kemudian cerita berkembang. Berupa mitos, dongeng, legenda, hikayat, cerita rakyat.Saling merangkai, mencoba menemukan hubungan sebab akibat, mulai dari apa yang eksak hingga ke yang irasional.

Terakhir, pada saat erupsi gunung Kelud misalnya, warga Kediri seketika mengait-ngaitkannya dengan legenda setempat, legenda Lembu Suro yang cintanya tak sampai kepada Dewi Kalisuci, putri Prabu Jenggala Manik, raja Kediri . Letusan itu dipercaya sebagai erangan, wujud amarah Lembu Suro yang tertimbun bongkah-bongkah batu di dasar gunung.

Lembu Suro, ksatria berparas lembu, pemenang sayembara yang berhasil merentang busur Kyai Garuda Reksa dan mengangkat gong Kyai Sekardelima, yang dengan kemenangan itu ia berhak mempersuntingDewi Kalisuci, putri nan jelita kembang kerajaan --- tetapi, kita tahu, takdir berkata lain. Baginda Prabu dan sang putri tak menghendaki kemenangannya.Muslihat dibuat, Lembu Suro diminta sekali lagi untuk menggali sumur yang harus selesai dalam semalam sebagai pelengkap syarat kemenangannya.

Menjelang pagi, sumur hampir tergali penuh.Ditengah rasa cemas, baginda memerintahkan para prajurit agar menimbun Lembu Suro hidup-hidup di dasar sumur dengan bongkahan batu demi menggagalkan kemenangannya.Dari kedalaman, Lembu Suro mengerang, tahu dirinya diperdaya.Dalam amarah, ia mengutuk seisi kerajaan, bersumpah akan melakukan tindak penghancuran pada sebuah waktu.

Legenda, apapun itu, selalu bisa dimaknai sebagai pesan atau upaya manusia menyelaraskan diri dengan anasir-anasir lain di semesta.Erangan Lembu Suro, misalnya, dikiaskan sebagai tengara akan adanya ketidakselarasan,sebagai bentuk panggilan kasih sayang, bagaimana gunung, hutan dengan berbagai sistem ekologinya dirawat.

Kemudian, yang terjadi belakangan adalah, kita menghafal gunung-gunung di sepanjang cincin api seperti laiknya angka-angka pada statistik.Hanya menakar sepihak, dari perspektif manusia seberapa besar rasa bangga ketika gunung-gunung menyusui kita dengan kesuburan melimpah, sumber air tak terbatas, pepohonan, hasil tambang, aneka ragam satwa --- juga pukauan pesona kontur serta lanskapnya. Kita hanya melihat gunung sebagai sebuah komoditas,entitas yang tunduk dan mudah ditaklukan.

Kita suka alpa menahan diri dalam mengeksploitasinya, suka tuli bagaimana suara kasih sayangnya memanggil.Apa boleh buat, kita hanya bisa gagap manakala gunung benar-benar mengerang dalam wujud berbagai peristiwa alam, dan manusia menyebutnya bencana.

Saya ingat “gunungan” dalam khasanah pewayangan. Sebuah bangun tematik menyerupai gunung yang muncul di awal dan di akhir pertunjukan.Sebuah tatal mosaik warna-warni, rupa-rupa pahatan wajah, pohon, sulur dedaunan, air dan api.Dua simbol terakhir, air dan api, keduanya dari rahim gunung. Keduanya dimaknai sebagai kekuatan destruktif awal dan akhir kehidupan : alam, manusia, peradaban.“Gunungan” pada wayang dengan demikian bukan sekadar perlambang, tetapi jugakonstruksi yang sebenar-benarnya tentang makna sebuah gunung.

Air dan api --- sekali lagi --- gunung menyimpan keduanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline