Ada‘berani’ dalam ‘ber(t)ani’,kedua-duanya kosakata tentang kerja adrenalin, nyali --- juga tubuh yang dikonstruksi sedemikian rupa untuk kemungkinan-kemungkinan di depan yang tak gampang diduga.Bertani , hari-hari ini kita tahu,kian menjadi profesi pertaruhan nasib, prototype tentang apa yang sia-sia, udik , berkubang tanah, berlumur lumpur, atau apapun yang sebisa mungkin dihindari.Pilihan terakhir setelah pilihan-pilihan lain seakan tidak lagi tersedia.
Dengan kata lain, bertani bukan pilihan yang populer.Mungkin oleh sebab itu kedua kosakata ini --- bertani dan berani --- seperti keajaiban, seakan terhubung paralel : yang satu (berani) menguatkan yang lain (bertani). Yang satu (bertani) mensyaratkan yang lain (berani).
Seperti halnya dunia maritim kita, dunia pertanian berangsur-angsur tak diingat, meski keduanya pernah menjadi saksi pejal dan kayanya riwayat kebudayaan Nusantara.
Rasanya kita semua sepakat,bahwa pertanian nyaris menjadi landasan setiap gerak peradaban menuju tahapan-tahapan berikutnya, terutama ketika dikaitkan dengan apa-apa yang memungkinkan kehidupan manusia dapat secara ajek terpenuhi : pangan misalnya. Dengan demikian, mentalitas dan cara pandang warga bangsa terhadap dunia pertanian dalam arti luas akan sangat menentukan arah peradaban bangsa yang dimaksud.
Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Amerika Serikat adalah contoh-contoh negara yang amat kentara keberpihakannya kepada petani. Melalui regulasi, distribusi lahan, riset , transparansi pasar, dan pembaharuan teknologi yang terus menerus.
Di Amerika Serikat, kita ingat bagaimana Franklin D. Roosevelt melahirkan Agricultural Adjustment Act pada tahun 1933, sebuah terjemahan terhadap cara pandang bahwa permasalahan ekonomi Amerika Serikat hanya dapat diselesaikan oleh “The Forgotten Man”, yakni buruh dan petani, bukan oleh Wall Street.Agricultural Adjustment Act menjadi contoh nyata bagaimana keberpihakan sebuah regulasi yang kemudian menjadi fondasi bagi kemakmuran petani-petani Amerika Serikat hingga sekarang.
Di Indonesia, banyak regulasi yang tidak bisa kita duga, yang akhirnya membawa dampak yang menghenyak --- langsung atau tidak --- bagi mayoritas petani-petani kita.Kedaulatan pangan? ,belum. Berbagai komoditas terbukti masih kita impor. Dengan dalih teknis, kuota, efisiensi, kualitas sumber daya atau apapun dalih yang menyebabkan kebijakan impor seolah tetap sebagai pilihan terbaik.
Dinamika kehidupan sosial masyarakat kita juga turut memberi andil atas paradigma baru yang tumbuh, bagaimana stratifikasi sosial kita --- sengaja atau tidak --- terbentuk menjadi kelas-kelas, dan kelas itu menempatkan petani pada strata terbawah.Strata yang seperti saya tulis di awal, sebisa mungkin dihindari, terutama oleh alasan-alasan praktis dan kecendrungan sikap-sikap kita yang pragmatis.
Dari dimensi akademis pun dunia pertanian semakin mendapat penegasian melalui sebuah penegasandi salah satu media :“Jurusan Pertanian Makin Sepi Peminat” (Jawa Pos, Kamis, 20 Februari 2014).
Nah, jika pertanian sebuah landasan budaya yang menentukan arah dan gerak peradaban, kemana landasan itu menuju ? Adakah ia sanggup menjadi tiang atas bangunan kesejahteraan bagi bangsa kita , atau fondasi kemakmuran bagi setiap warganya ?.Saya tidak ingin buru-buru mengatakan: “Indonesia negara agraris”sebagai premis yang gagal, atau cita-cita yang tak sampai.Hanya untuk mencapainya, nampaknya kita ditakdirkan pelan dan tertatih-tatih.
Maka untuk setiap nasi yang terhidang di meja makan, untuk setiap komoditas pertanian yang saya konsumsi,doa-doa saya bukan hanya kepada petani Indonesia, tetapi juga petani-petani Vietnam, India, Thailanddan entah apa lagi …….. negara-negara dari mana beras dan berbagai komoditas pertanian itu kita impor --- dengan setia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H