Lihat ke Halaman Asli

Arlinda Kristinawati

Mahsiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

Pembelajaran Tatap Muka Terbatas

Diperbarui: 16 Desember 2021   13:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pandemi yang masih belum usai membuat pembelajaran tatap muka tidak bisa dilaksanakan seperti sebelumnya. Pembelajaran tatap muka mulai dilaksanakan kembali setelah selama kurang lebih satu setengah tahun dilaksanakan pembelajaran daring (dalam ruangan). Awal mula pelaksanaannya adalah semester 2 tahun ajaran 2021/2022 yang mulai dilakukan dari jenjang SD hingga Universitas.

Namun, pada kenyataannya ternyata hal ini menimbulkan permasalahan baru. Pada bulan Juni, kasus covid19 dinyatakan meningkat dan satuan pendidikan dianggap sebagai klaster baru penyebaran penyakit. Akhirnya, Jokowi pun mengarahkan agar pembelajaran tatap muka di sekolah dilakukan dengan sangat terbatas. Misalnya, siswa yang mengikuti kegiatan pembelajaran tatap muka maksimal adalah 25 persen dari kapasitas kelas. Selain itu, orang nomor 1 di Indonesia tersebut juga menyarankan agar kegiatan pembelajaran tatap muka hanya dilaksanakan maksimal dua hari dalam seminggu bergantung pada kondisi sekolah dan wilayah sekitarnya. Meskipun pembelajaran daring bagi beberapa sekolah dianggap tidak efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Namun, tidak ada jalan lain. Meskipun pendidikan sangat penting, kesehatan adalah hal utama di atas segalanya.

Berangkat dari saran yang diungkapkan melalui pidato Presiden, akhirnya banyak sekolah yang membagi siswa di kelas dalam 2 sesi. Pembagian sesi ini biasanya ditentukan oleh urutan absensi yang dibagi secara merata. Secara umum, sesi dibagi menjadi sesi pagi dan sesi siang. Sesi pagi dimulai pukul tujuh sampai 9 dan sesi 2 dimulai pukul 10 sampai 12.

Pembagian siswa menjadi dua sesi pastinya tak luput dari timbulnya permasalahan baru. Dari sudut pandang guru, hal ini tentu sangat melelahkan. Karena guru harus mengajar sebanyak dua kali dengan materi, metode dan model pembelajaran yang sama. Dari sudut pandang siswa, hal ini juga cukup merugikan. Terutama untuk siswa yang masuk dalam sesi 2. Jika siswa sesi 1 masih bisa kondusif menerima pembelajaran karena suasana masih pagi dan segar, maka tidak demikian dengan siswa yang termasuk dalam sesi 2 mengingat mereka baru mulai masuk kelas pukul 10 pagi yan gmana suasana sudah cukup panas yang secara tidak langsung mengganggu kesiapan siswa dalam menerima pembelajaran.

Di sisi lain, beberapa siswa juga menjadi tidak semangat dalam mengikuti pembelajaran terlebih ketika sahabat mereka berada pada sesi yang berbeda. Siswa yang awalnya cukup aktif mengikuti pembelajaran dan menurut ketika diminta mengerjakan soal yang diberikan guru. Karena faktor tersebut, mereka menjadi tidak seperti biasanya. Namun, guru juga tidak bisa memindah siswa sekenanya hanya karena perkara ini. Karena perpindahan siswa ke sesi yang berbeda terlebih karena inisiatif guru, akan membuat guru dipandang condong ke siswa tertentu. Meskipun sebenarnya niat guru adalah baik yakni mengembalikan semangat belajar siswa.

Dalam hal ini, lembaga bisa melakukan tindakan, salah satunya adalah memasang jendela antar kelas yang bisa dibuka seperti konsep kelas rangkap. Kedua kelas yang digabung bisa digunakan untuk siswa dalam 1 rombel. Sehingga, tidak perlu adanya sesi dalam satu kelas. Guru juga tidak perlu mengajar sebanyak dua kali yang pastinya sangat melelahkan. Selain itu, siswa juga bisa kembali belajar bersama dengan teman-teman sekelas nya yang lain. Dilain pihak, sekolah juga tetap mematuhi saran yang disampaikan presiden melalui pidato terkait formasi yang diperbolehkan dalam satu ruangan.

Permasalahan mengenai kebijakan sekolah dalam menjalankan pembelajaran tatap muka agar tidak memunculkan klaster baru menunjukkan mengenai peran pemerintah yang dalam hal ini disampaikan oleh presiden terhadap sekolah. Hal ini berkaitan dengan salah satu teori sosiologi yakni teori fungsionalisme.

Teori fungsionalisme mengajarkan bahwa masyarakat terdiri dari sistem yang tersusun secara struktural dengan perannya masing-masing. Hasil dari berjalannya sistem dapat menciptakan tatanan dan stabilitas sosial. Pernyataan ini sesuai dengan permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya yangmana kepatuhan sekolah terhadap pemerintah dapat meminimalisir terciptanya sekolah sebagai klaster baru covid19. Seperti prinsip dalam teori fungsionalisme, bila hal ini dilanggar oleh lembaga yang berada di bawahnya maka akan menciptakan sistem sosial yang sulit dikendalikan dan kacau. Dalam hal ini, yang dimaksudkan adalah covid19 yang kembali marak di Indonesia dan bertambahnya jumlah korban.

Arlinda Kristinawati Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline