Masyarakat Bugis-Makassar dikenal sebagai perantau yang ulung. Mereka rela melakukan perjalanan yang jauh demi sebuah tujuan hidup. Entah mereka pergi untuk belajar atau memang untuk menetap sebagai seorang perantau.
Saat hendak merantau, orang tua biasanya tidak melepas anaknya dengan tangan kosong. Selain bekal finansial, mereka juga dijejali dengan pappaseng (petuah) yang menjadi pegangang atau prinsip hidup di mana pun mereka berada.
Salah satu pappaseng yang dipegang teguh masyarakat Bugis-Makassar adalah prinsip tellu cappa (tiga ujung). Ketiga ujung tersebut yaitu cappa lila (ujung lidah), cappa urane (ujung kelamin), dan cappa kawali (ujung badik). Ketiganya merupakan modal sosial yang melekat dalam diri masyarakat Bugis-Makassar untuk menjalin kerjasama dan menyelesaikan suatu konflik.
Cappa lila (ujung lidah) bermakna bahwa seseorang harus bisa menjalin kerjasama atau menyelesaikan masalah dengan kemampuan berbicara, berdialog, atau berdiplomasi.
Kemampuan ini dianggap sebagai kemampuan dasar yang harus dimiliki seseorang dalam menjalani hidup. Seseorang harus mampu membangun relasi dan menyelesaikan berbagai persoalan dengan kemampuan berpikir yang diejawantahkan melalui kemampuan berbicara.
Cappa urane (ujung kelamin) bermakna membangun relasi atau menyelesaikan konflik dengan cara menjalin kekeluargaan. Dalam sejarah kerajaan di Sulawesi Selatan, banyak kerajaan yang bekerjasama karena adanya ikatan pernikahan. Hal tersebut mereka lakukan dengan menikahkan putri dan putra mahkota antar kerajaan. Ikatan pernikahan kemudian secara praktis tidak hanya menghubungkan kedua kerajaan, tetapi juga menyelesaikan persoalan antara kedua kerajaan.
Cappa kawali (ujung badik) bermakna suatu persoalan terkadang harus diselesaikan melalui pertumpahan darah. Dalam konteks zamannya, orang Bugis-Makassar ketika dihadapkan pada persoalan yang tidak bisa diselesaikan secara baik-baik, maka jalan keluarnya adalah pertumpahan darah.
Dahulu hal seperti itu lumrah ditemui di setiap kerajaan di Sulawesi Selatan. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Bugis-Makassar sangat menjunjung tinggi yang namanya siri atau harga diri.
Hal menarik dari prinsip tersebut adalah konteks penggunaannya yang hierarki dan tidak boleh dipertukarkan. Hal tersebut berlaku terutama dalam menyelesaikan suatu konflik.
Langkah pertama yang harus diambil adalah berdialog, berdiskusi, atau berdiplomasi. Jika cappa lila tidak mampu menyelesaikan suatu konflik, maka barulah kemudian seseorang menempuh langkah berikutnya.