Lihat ke Halaman Asli

Arlin

Pengajar

Perihal Book Shaming

Diperbarui: 16 Juli 2023   11:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Gambar oleh Pexels dari Pixabay

"Bagaimana menurutmu tentang book shaming?" Tanya teman-diskusi saya di suatu malam. Pertanyaan itu cukup sederhana, tetapi saya membutuhkan ingatan yang panjang untuk bisa menjawabnya.

Selama ini kita yang lekat dengan kita adalah istilah pelecehan terhadap tubuh seseorang "body shaming". Selain itu, ada juga "book shaming" tentu artinya pelecehan terhadap buku. Dalam konteks yang lebih luas, kita bisa memaknainya sebagai pelecehan kepada seseorang karena buku bacaan yang dibacanya dianggap rendah.

Saat SMP, saya membaca seluruh buku mata pelajaran bahasa Indonesia, terutama cerpen-cerpen dan resensi novel yang ada di dalamnya. Hobi itu berlanjut hingga SMA, saya sering nongkrong di perpustakaan sambil membaca puisi, kumpulan cerpen terbitan Horizon dan Majalah Pendidikan di perpustakaan.

Melalui perpustakaan di sekolah, saya banyak mengenal penulis seperti Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Idrus dan beberapa penulis yang tentunya saat ini sudah sepuh dan tiada. Meski nama mereka berulang kali saya temukan di buku pelajaran, saya merasa tidak benar-benar mengenal mereka. Bukan hanya itu, bahkan hanya satu dua karya saja dari nama-nama pesohor tersebut yang bisa saya daras hingga selesai.

Saat masuk kuliah, salah seorang teman memperkenalkan saya dengan Seno Gumira Ajidarma. Buku pertama yang membuat saya jatuh cinta secinta-cintanya terhadap Seno adalah kumpulan cerpen yang berjudul Linguae. Sejak saat itu, saya memburu karya-karya Seno. Sialnya, saya bertemu dengan kumpulan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku, buku yang membuat saya benar-benar menjadi pembaca.

Selepas semua itu, saya ketagihan untuk terus membaca, entah itu dengan membeli atau pun meminjam dari teman. Saat itu saya tidak benar-benar tahu bagaimana membedakan dan mengukur suatu karya. Hal ini membuat saya membaca buku apapun yang saya temui selama itu bisa saya pahami. Saya membaca buku Raditya Dika, Tere Liye, Ollie, dan beberapa penulis muda lainnya.

Dari pengalaman membaca berbagai genre, secara perlahan saya menyadari bahwa kita butuh bacaan yang lebih menantang. Saya kemudian diperkenalkan dengan penulis-penulis Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer, Goenawan Mohamad, Remy Sylado, Ahmad Tohari, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Eka Kurniawan, Mahfud Ikhwan dsb. Saya membaca beberapa karya mereka dan menyadari bahwa hidup tidak sesederhana apa yang dibicarakan oleh Raditya Dika dan Tere Liye.

Dengan adanya perasaan seperti itu, saya kemudian mencoba untuk mencari karya-karya yang bisa menjadi perbandingan dengan karya-karya yang saya baca sebelumnya. Akhirnya saya bertemu dengan beberapa karya penulis luar seperti, George Orwell, Leo Tolstoy, Kafka, Zola, Murakami, Dostoyevsky, Joyce, Mark Twain, Kundera dan Gabo. Dua nama terakhir merupakan nama yang sedang saya gandrungi karya-karyanya. Penulis dari luar kemudian memberikan saya perspektif yang berbeda dari karya-karya yang telah saya baca sebelumnya.

Hal ini kemudian menyadarkan saya bahwa membaca pada dasarnya adalah proses penemuan. Kita akan menemukan satu penulis ke penulis yang lain. Saat saya membaca karya-karya Gabo misalnya, saya kemudian penasaran dengan penulis-penulis Amerika Latin lainnya atau karya-karya yang banyak orang sebut sebagai realisme magis.

Proses penemuan bacaan dari Tere Liye hingga Gabo bagi saya adalah proses yang panjang. Ibarat kata, untuk bisa terbang, anda harus mulai dari merangkak, berjalan, berlari, barulah kemudian terbang. Membaca bukan dongeng tentang Icarus yang tiba-tiba bisa terbang dengan sayap buatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline