Lihat ke Halaman Asli

Rokok

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Agak bingung juga ini sebaiknya masuk rubrik kesehatan atau lifestyle; hanya sekedar berbagi cerita bahwa sulitnya seseorang lepas dari kebiasaannya meskipun tahu itu dampaknya buruk. Cerita ini dari dari tentang kebiasaan bapakku.

Bapakku perokok berat. Seingatku sejak aku kecil bapakku memang selalu merokok tanpa henti dan tiada bosan-bosannya. Saat nonton acara televisi, baca koran, ngobrol, melamun bahkan saat memarahi anak-anaknya pun Bapak tak pernah lepas dari rokok. Sepertinya Bapak juga sempat merokok dengan menggunakan pipa, aku tak ingat kapan, tapi saat kulihat fotoku waktu masih kecil, aku melihat bapakku sedang mengisap pipa rokok sambil mendayung perahu ketika sedang liburan keluarga.

Aku tidak tahu pasti sejak kapan Bapak mulai merokok. Apakah waktu SMA, kuliah atau setelah menjadi ’Bapak’? Tapi setahuku, bapakku memang keturunan dari keluarga perokok. Saudara-saudara kandung bapakku, sepuluh orang, tiga per empatnya adalah perokok. Termasuk yang wanita. Kakek, almarhum, dari bapakku juga perokok berat. Seumur hidupnya almarhum kakekku, bahkan sampai ia hendak meninggal, selalu sibuk dengan rokok kelinting jaman dulu. Keponakan bapakku, anak dari kakaknya, semuanya perokok baik pria maupun wanita dan tak mau kalah jua para keponakan menantunya! Jadi waktu kita kumpul di kampung halaman nenek pas lebaran di setiap ruangan pasti dipenuhi asap rokok serasa kebakaran hutan.

Walaupun Bapak perokok berat, ibuku serta ketiga anaknya – termasuk aku – sangat benci dengan rokok. Sedari kecil, aku beserta kakak dan adikku selalu menegur Bapak bila beliau merokok, tapi kita tetap kalah dari kemauannya bapak. Maklum saja, beliau seorang bapak sedangkan kita – aku dan saudaraku – hanyalah anaknya. Tapi kita tak pernah menyerah untuk mencegah Bapak merokok. Ada saja akal yang kita lakukan agar bapak berhenti merokok, apalagi sejak kita tahu bahwa adikku suka kambuh asmanya, kita selalu saja menyembunyikan rokoknya. Bapak suka marah kalau rokoknya kita sembunyikan. Terus terang aku juga takut bila Bapak marah, tapi tetap saja rokoknya kusembunyikan di laci meja belajarku. Salut juga dengan Bapak, dia memang sudah menyatu dengan rokoknya, masih dapat menemukan rokok tercintanya itu. Walaupun di tempat tersulit sekalipun, hidung bapakku bak hidung anjing pelacak saat mencari rokok, dan bila sudah ditemukan aku dan saudaraku pasti gemetar ketakutan karena dimarahi, namun setelah merokok Bapak langsung kalem, dia malah membelikan kita jajanan enak atau ngajak jalan-jalan. Jiwa penyayang dan hati nurani Bapak sepertinya ada dalam tiap isapan rokoknya.

Akhirnya kita kapok juga menyembunyikan rokok. Percuma saja – selalu ditemukan dan kita pun selalu dimarahi – akhirnya kita cari cara lain yang lebih ’nakal’. Kita beri lem dan selotip pada kepala pembuka bungkus rokok agar bapak sulit mengambil rokoknya. Tapi Bapak tetap berjuang gigih dengan menggunakan gunting atau pisau dapur untuk membukanya. Walaupun berhasil dibuka kadang ikut terpotong juga rokoknya, bila itu terjadi, kita bertiga – aku, kakak dan adikku – cekikikan melihatnya. Namun semangat Bapak untuk merokok tak terpatahkan, beliau langsung pergi ke warung dan membelinya dua kali lipat. Sering juga kusembunyikan korek apinya, tapi Bapak tetap bisa menyalakannya dengan api di kompor. Pernah pula aku mengecat bungkus rokoknya dengan cat air sehingga mirip dengan notes. Tapi Bapak tetap mengenalinya. Ibuku sering menegurku agar tidak usil dengan rokoknya Bapak.

Ketika aku sudah jadi dokter, aku berusaha menyadarkan Bapak untuk berhenti merokok, aku menjelaskan risiko penyakit yang disebabkan rokok. Namun tak mempan. Bapak pasien tersulit yang pernah kujumpai. Bapak tetap menjadi perokok ulung sedunia yang pernah kukenal. Aku pun risih dengan abu rokok dan taplak yang menjadi bolong karena rokok Bapak. Tapi aku telah menyerah untuk mencegahnya. Aku gusar dengan semua rokok Bapak.

Sampai suatu saat aku takjub juga mengetahui bapak berhenti merokok. Dimulai ketika menantu pertamanya, istri kakakku, hamil hingga cucu pertamanya lahir; Bapak benar-benar ’pensiun’ dari profesinya lamanya. Demi cucu pertamanya, Bapak rela berpisah dengan rokok tercintanya.

Aku berniat memberi hadiah atas ’prestasi’ Bapak. Hampir setahun Bapak berhenti merokok. Suatu hari Bapak berkunjung ke tempat tinggalku di Bandung. Nyaris kuingin memberi hadiah itu untuknya, seketika Bapak merogoh koceknya, memberi uang kepadaku dan minta dibelikan rokok olehku. Ketika kuberikan dua bungkus rokok kepadanya dengan hati masam, Bapak justru menegurku,”Kenapa kamu beli dua?”.

”Bukannyatadi bapak minta dua?”jawabku.

”Maksud bapak dua lusin. Bukan dua bungkus. Bapak sudah kangen berat sama rokok, sini uangnya biar bapak beli sendiri.” Dan Bapak benar-benar menghabiskan dua lusin bungkus rokoknya malam itu. Oh!

Esoknya, hadiah untuk Bapak, terpaksa kuberikan kepada pemulung.

.......

Bertahun-tahun kemudian bapakku terserang batuk dan sesak napas yang tak ada hentinya sehingga membuatnya jera untuk merokok. Saat ini telah setahun Bapak berhenti merokok, itupun karena kemauannya sendiri tanpa harus dinasehati sana-sini. Mungkin untuk lepas dari kebiasaan buruk seseorang harus punya dampak buruk dulu akibat kebiasaanya itu....namun itupun bila masih bisa terobati alias komplikatif, syukur bapakku 'hanya' kena batuk tidak terkena stroke atau penyakit jantung. Ada baiknya jangan tunggu dulu sampai sakit deh bila ingin lepas dari kebiasaan buruk, menyesal jauh lebih tidak enak daripada mencegah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline