Lihat ke Halaman Asli

Kemenangan Hanya Bisa Dicapai Jika Kita Mengajak Pihak Lain untuk Menang Bersama

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Steve Jobs: 'Kita hanya bisa menang, jika mereka kita ajak menang'

Tulisan ini terutama diinspirasikan oleh kisah kejatuhan Apple corporation pada tahun 90an. Sedikit latar belakang, sepeninggal Steve Jobs pada tahun 1985, Apple mengalami kemunduran secara perlahan tapi pasti. Kesalahan manajerial, telah menyebabkan Apple memproduksi teknologi yang terlalu maju daripada jamannya, sehingga malah menjadi tidak laku, karena juga tidak ditunjang oleh marketing yang baik. Di sisi lain, komputer yang diproduksi Apple menjadi tidak ada bedanya dengan komputer lain, namun dengan harga yang jauh lebih mahal. Di pertengahan era 90an, kemunduran itu sudah mencapai puncaknya, dan Apple merugi dalam jumlah besar. Akhirnya, Steve Jobs, yang sebelumnya 'dikudeta' oleh dewan direktur Apple, dipanggil kembali untuk memimpin Apple. Sewaktu Jobs menduduki kursi pimpinan kembali, banyak suara yang membisiki dia, bahwa salah satu penyebab utama kehancuran Apple adalah karena sepak terjang Microsoft. Seperti kita ketahui, kemunduran Apple akhirnya dimanfaatkan Microsoft untuk memproduksi software yang lebih murah, dan bekerja sama dengan industri PC untuk menghasilkan komputer yang jauh lebih murah. Semua dengan kualitas yang sama dengan yang ditawarkan Apple. Banyak pihak, yang menganjurkan Jobs untuk melakukan 'Vendetta', dalam arti melakukan balas dendam dengan Microsoft dan melakukan 'zero sum game' melawan Microsoft. Faksi anti Microsoft di Apple tersebut percaya, bahwa jika Microsoft dihancurkan, maka Apple akan memperoleh kejayaannya seperti di masa lalu. Namun, Jobs akhirnya mengambil langkah yang jauh berbeda dengan bisikan faksi anti Microsoft tersebut.

Banyak pihak yang tidak 'ngeh', kalau sebenarnya Steve Jobs dan Bill Gates, CEO Microsoft (saat itu) saling berteman, dan pernah mengerjakan proyek yang sama di Homebrew Computing Club. Gates pernah mengerjakan proyek pengembangan software untuk Apple, sewaktu Jobs masih menjadi CEO. Sewaktu Apple mengalami kemunduran, Gates berkali-kali menawarkan bantuan ke pihak Apple. Namun tidak pernah ditanggapi. Akhirnya, sewaktu Jobs kembali ke manajerial Apple, Gates langsung menghubungi dia untuk menawarkan bantuan, berupa suntikan dana. Jobs menyetujui tawaran tersebut, dan sebagai imbalan suntikan dana tersebut, Microsoft mendapatkan saham 'non voting' Apple. Microsoft juga menyatakan komitmennya untuk tetap mengembangkan software untuk platform Macintosh. Kerjasama antara Apple dan Microsoft ini diumumkan oleh Steve Jobs di MacWorld Expo tahun 1997, dan Jobs juga memberikan kesempatan bagi Gates untuk memberikan pidato via Video Conferencing di event tersebut.

Moral of the story dari semua itu adalah kecerdasan Jobs untuk menghindari perang eksistensi yang dapat menghancurkan Apple. Jobs sudah mengkalkulasi, bahwa melakukan 'zero sum game' melawan Microsoft beresiko justru menghancurkan Apple secara total. Jobs lebih memilih mengutamakan keselamatan perusahaannya, daripada mengikuti emosi sesaat yang penuh dendam. Jobs lebih memilih melangkah maju kedepan, daripada saling menyalahkan satu sama lain. Apa hikmah yang bisa kita ambil dari kasus ini?

Mari kita bekerja sama

Tulisan ini diturunkan berdasarkan keperihatinan, bahwa semangat persaingan di negeri kita seyogyanya tetap dimasukkan dalam bingkai etika dan moralitas. Sedikit mirip dengan tulisan saya sebelumnya ' Sekali lagi, Masa Depan Sains dan Kemanusiaan Berada pada Pendekatan Multidisiplin', maka dalam tulisan ini saya mengedepankan pentingnya kerja sama multi institusi, dalam konteks riset. Belajar dari kasus Apple dan Microsoft, suatu institusi (dalam hal ini perusahaan) yang memiliki segmen pasar yang sama (dalam hal ini sistim operasi dan aplikasi bisnis) tidak harus saling berperang dan melakukan 'zero sum game'. Justru mereka bisa bekerja sama dalam mengerjakan suatu proyek, demi kepentingan bersama juga. Hal diatas tidak saja berlaku pada perusahaan, namun juga bisa diaplikasikan pada institusi lain, misalnya Universitas, birokrasi, atau yayasan. Contoh kerja sama yang bisa dilakukan, misalnya antara Universitas Negeri dan Swasta, atau antara departemen/kementrian yang satu dengan yang lainnya.

Menganalogikan institusi tempat kita bernaung (entah itu perusahaan, universitas, birokrasi, yayasan, dll) sebagai sebuah 'kampung', dan hubungannya dengan institusi lain, yang berupa kampung juga, seyogyanya dielaborasi secara lebih holistik. Jika kita memandang kampung lain, katakanlah, sebagai kompetitor, maka niscaya yang terjadi adalah apa yang menurut istilah sosiologi sebagai 'perang antar kampung'. Istilah ini, yang sebenarnya diambil dari perang antar kampung di dunia nyata, dapat saja terjadi dalam bentuk lebih canggih dan terorganisir. Namun, haruskah kita memandang realitas dengan sepesimis ini? Haruskah hubungan antara 'kampung' yang satu, dengan kampung yang lain kita pandang dengan kacamata Hobbesian, diamana kampung yang satu harus mendominasi kampung yang lain?

Pesimisme Hobbessian, yang menjadi panorama di dunia modern ini, mengasumsikan bahwa manusia yang satu adalah serigala bagi yang lain (Homo Homini Lupus). Namun, bagaimana kita mengkonstruksi hubungan dengan kampung lain tidaklah harus dalam kapasitas sebagai 'serigala', tetapi bisa juga sebagai komunitas. yang memegang teguh kaidah-kaidah etis dan kemanusiaan.

Seperti yang pernah diungkapkan oleh Wernher von Braun, salah satu pimpinan teras NASA, yang berkata bahwa perkembangan sains dan teknologi seyogyanya dibungkus dalam bingkai kemanusiaan, maka dunia riset pun hanya bisa berkembang, tidak hanya dengan kerja sama multi disiplin, namun juga dengan kerja sama multi institusi. Kemanusiaan yang sesungguhnya, hanya bisa ditemukan jika kita melihat 'yang lain' sebagai teman, sahabat, atau partner, bukan sebagai 'mangsa' yang harus diterkam oleh sang serigala.  Sebuah penelitian, akan menjadi semakin lengkap dalam menyelesaikan masalah ilmu pengetahuan, jika mendapatkan masukan dari berbagai bidang ilmu, dan juga dari berbagai institusi berbeda, yang memiliki kultur organisasi yang juga berbeda. Keanekaragaman adalah anugerah bagi dunia riset.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline