Lihat ke Halaman Asli

Jejak Perjalanan Sangihe: Eksplorasi Kekayaan Alam dan Sejarah dalam Novel Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut karya Dian Purnomo

Diperbarui: 20 Desember 2023   10:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kita pasti sudah tak asing dengan novel. Sebagai salah satu bentuk karya sastra, novel seringkali dikenal dengan tema romansa yang kerap mendominasi pasar. Kita dapat menemukan novel yang mengenalkan tentang kekayaan alam dan sejarah suatu daerah di Indonesia. Terkadang, kita tenggelam dalam kisah asmara yang melibatkan tokoh-tokoh dengan konflik percintaan yang rumit, tanpa menyadari potensi besar yang dimiliki oleh novel-novel yang memperkenalkan keindahan alam dan warisan sejarah Indonesia.

Dalam konteks akademis, novel yang bertemakan kekayaan alam dan sejarah juga memberikan kontribusi dalam memperkaya literatur yang difokuskan pada aspek-aspek kehidupan lokal. Karya sastra semacam ini dapat menjadi sumber pengetahuan baru yang berharga untuk studi-studi budaya dan lingkungan.

Novel semacam ini memiliki daya tarik tersendiri, membawa pembaca dalam petualangan tak hanya melibatkan karakter-karakter yang kuat, tetapi juga mengajak pembaca menjelajahi pesona alam dan kekayaan budaya yang dimiliki oleh berbagai daerah di negeri ini. 

Dengan eksistensi novel bertemakan kekayaan alam dan sejarah inilah, pembaca diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi lebih jauh keindahan alam dan sekilas sejarah yang menjadi bagian dari keberagaman Indonesia. Penggambaran penulis juga berperan penting, khususnya dalam menggambarkan kreasi imajinatif sehingga para pembaca dapat menuangkan imajinasinya. Nah, kira-kira apakah books lover tahu siapa penulis yang dimaksud tersebut? Untuk mencari tahu, mari kita simak pembahasan berikut.                  

Dian Yuliasri atau yang lebih sering disapa sebagai Dian Purnomo adalah salah satu penulis wanita yang cukup dikenal di Indonesia. Ia lahir di kota Salatiga, Jawa Tengah pada Juli 1976. Karya-karyanya yang diminati pembaca, membuat novel-novel karyanya cukup melejit di pasar buku nasional.

Setelah menempuh pendidikan di Kriminologi, Universitas Indonesia membuatnya cukup terbuka akan isu-isu sosial, khususnya pada isu-isu tentang perempuan, anak, maupun kekerasan berbasis gender. Melalui karya-karya Dian Purnomo ini, kita tak hanya diberikan sebuah hiburan semata, melainkan juga diperkaya dengan wawasan baru mengenai realitas kehidupan perempuan modern.

Dian Purnomo diketahui telah menekuni dunia kepenulisan sejak bangku SMA. Ia pun telah menerbitkan sembilan buah novel dan antologi cerita pendek. 

Novel terbitannya yang pada saat itu mencuri perhatian pecinta buku dan menjadi titik pencapaian gemilang nya berjudul Perempuan Yang Menangis kepada Bulan Hitam yang ditulis berdasarkan pengalaman-pengalaman pilu para perempuan korban kawin tangkap di daerah Sumba, Nusa Tenggara Timur. Isu adat perkawinan tangkap di Sumba ini yang kemudian menggetarkan hati Dian Purnomo sebagai panggilan jiwa untuk menggemakan jeritan perempuan yang terasa terabaikan, lalu ia muat dalam bentuk sebuah karangan.

Usai membuat karya yang berjudul Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam, ia kembali untuk meluncurkan karyanya yang mengusung pemilihan tema yang lebih menarik dalam sebuah buku bersampul kuning. Yang menarik perhatian adalah novel ini menceritakan sebuah perjalanan panjang seorang perempuan bernama Shalom Mawira dan keluarga kecilnya di kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. 

Cerita ini bermula dari tokoh Mbak Mirah, seorang anggota dari sebuah organisasi Yayasan Sayangi Alam yang diminta bertugas untuk memegang sebuah program di kepulauan Sangihe. Selain bertemu dengan tokoh Shalom Mawira, kita juga akan bertemu dengan tokoh-tokoh pendukung lainnya seperti anggota-anggota keluarga Shalom, yaitu Oma Tulas, Mama lisa, dan si kembar Theres-Piedro.

Novel ini mengandung unsur sejarah-fiksi dengan drama kehidupan yang dibumbui nuansa melankonis yang menguras emosi. Permasalahan itu muncul ketika Karlos Mawira, ayahanda dari Shalom pergi tanpa meninggalkan jejak setelah hendak pergi melaut tengah malam. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline