Lihat ke Halaman Asli

Ibu Pertiwi Berkelahi dengan Anak Haram yang Bernama " Papua "

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan otonomi khusus Papua merupakan cermin negara hukum yang membiarkan kesejahteraan diurus secara " setengah " oleh rakyat. Ada memang kewenangan dilimpahkan kepada masing-masing wilayah untuk memenuhi keadilan dalam rumah " pancasila ". Ibarat ibu pertiwi punya anak banyak sehingga harus memikirkan bagaimana anaknya mengurusi dirinya, lalu sang ibu pakai kewajibannya memantau dan mengevaluasi kinerja anaknya. Pertanyaannya seketika anaknya tidak berhasil membina rumah tangga sendiri, berarti yang salah siapa?. Indonesia adalah negara hukum yang berbentuk republik. Prinsip negara hukum sendiri bertujuan untuk menciptakan keadilan. Di era liberalisasi sekarang, negara hukum lebih pada keadilan ( kesejahteraan ). Welfare State menagunut perinsip negara hukum kesejahteraan. Cuma, bila ditilik kebelang, pecahnya kewenangan negara menjamin rakyat sejahtra ini, seketika negara dilucuti kewenangannya. Dilucuti karena negara dianggap gagal menyelenggarakan kedaulatan ekonomi, sehingga, dalam era kapitalisme sekarang abad 21, urusan ekonomi dibebankan kepada swasta. Fenomena seperti inilah, bagaimana urusan pemerintah menangani masalah kesejahteraan warga negaranya. Mulai dari Aceh hingga Papua, dalam bingkai negara kesatuan, kesejahteraan yang merupakan prinsip utama negara hukum seakan jauh dari kenyataan. Anak Haram Memang Bikin Masalah? Anak Papua dikatakan haram karena diserahkan kepada Ibu Pertiwi yang bukan mama dari Papua. Setelah 1 Desember 1961, bapak si anak ini pergi dan menghilang begitu saja. Eh, tau-tau si bapak diam-diam berselingkuh dengn Ibu Pertiwi, dan kepadanya diserahi mengurus Papua. Artinya, Papua memang bukanlah anak sesungguhnya dari Ibu Pertiwi sejak 17 Agustus 1945. Papua mengalami tiga periode pertentangan. Pertama di bawah kolonialisme Belanda. Kedua, menjadi daerah sengketa dan sejak tahun 1963 resmi berada di bawah pangkuan R.I. 1 Desember 1961. Tepat 50 tahun yang lalu Papua - kala itu bernama West Nieuw Guinea - mendeklarasikan kemerdekaan. Nasib Ketiga, sejak 1969 berada di bawah pemerintahan efektif dan eksploitasi Orde Baru.Kini, propinsi Papua seperti seorang anak kehilangan Ibu Pertiwi. Supaya anak haram tidak bikin masalah, Ibu pertiwi rayu dengan kasi uang otsus 30 trilyun. Rayu dengan bikin rumah bagus bernama otsus. Lalu ada lagi rumah bernama pemekaran daerah. Tapi karena masih kepala batu, Ibu ini pakai senjata untuk bikin tobat anak haramnya. Eh, tidak berhasil juga, justru Papua tetap bergolak. Mendamaikan Anak Haram dengan Ibu Pertiwi Ibu, ko su tau kalau kami tidak butuh uang otsus, kami tra butuh pemekaran, kami tra butuh tentara datang dengan senjata bikin takut sampai bunuh kami disni. Kami tidak butuh rayuan gombal dengan kesejahteraan fiktif yang tidak mendasar. Jangan lagi atur kami dengan pikiran yang sudah gagal selama ini. Bila ingin kami sejahtera, biarkan kami bakar kebun kami sendiri. Kami olah sendiri emas dan Tembaga, minyak bumi, ikan di laut, dan segalanya kami yang atur. Ibu Pertiwi masih marah. Tidak bisa. Kalian itu masih bodoh, belum bisa kelola sendiri, walaupun saya ( ibu pertiwi ) sudah serahkan kepada anda urus masalahmu sendiri. Kalian itu masih konsumtif. Masih primitif, segalanya ucapan kejengkelan sang ibu terus menerus tanpa hentinya. Anak haram tetap tidak mau dengar. Padahal, mama yang ajarkan kami tetang negara kesejahteraan. Negara hukum untuk keadilan. Negara republik ini harus berdaulat. Yang merdeka itu rakyatnya bukan?. Eh, Ibu haram, memang dirimu keterlaluan. Kamu kasi uang 30 trilyun saja bersungut sampe. Padahal orang Amerika punya ibu bernama freeport ada angkat kekayaan beribu trilyun bawa keluar ke Amerika sana, kenapa ibu ko tra marah kah?. Begini bu, supaya kita damai, sudahlah, ibu urus anak-anak ibu yang lain sudah ( Aceh-Maluku ) saja, biarkan kami urus masalah ekonomi, budaya, demokrasi, ham dan segalanya. Kenapa ibu setengah hati melepaskan kami urus rumah tangga kami kah?. Ah, si ibu memang tidak mau lihat anaknya bahagia, dia tidak mau lihat anak haramnya punya pesawat sendiri, dia tra mau anak titipan dari perselingkuhan jadi pemain bola di Asia bahkan piala dunia. Ibu haram memang otoriter.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline