Sekitar tiga tahun lalu, seorang kawan semasa kuliah mengajak saya bergabung di sebuah perusahaan rintisan. Sebelumnya, kawan sudah punya lembaga kursus yang lumayan mapan berjalan. Startup besutannya ini berupa aplikasi media sosial yang mempertemukan guru dan murid beinteraksi dalam kelas-kelas privat.
Dari Media Sosial ke Virtual Meeting
Dia juga mengintegrasikan sistem pembayaran yang memudahkan pengguna. Saya suka konsepnya, dan bergabung memperkuat tim hingga berhasil memperoleh angel investor. Namun sesuatu hal terjadi di tengah jalan.
Pada 2019, seorang investor utama, pemilik lembaga pendidikan yang cukup terkenal, meninggal dunia. Manajemen lembaga tersebut harus merestrukturisasi pengeluaran yang ada. Termasuk memangkas pembiayaan untuk startup kami. Walhasil, kami kehilangan investor andalan.
Aplikasi masih berjalan meski berat. Hingga suatu hari si kawan memutuskan untuk mengubah model bisnis dari media sosial menjadi layanan video meeting seperti Zoom. Inovatif, pikir saya. Kawan mampu beradaptasi dengan kebutuhan terkini. Dia menyampaikan berbagai potensi yang bakal diraih jika berhasil menggaet investor yang cukup. Ah, iya. Lagi-lagi itu tantangannya. Dia mengajak saya untuk fokus kembali memperkuat rintisan dengan model bisnis baru itu. Belum saya jawab tawarannya. Bagaimana, ya? Apakah kini saya bakal sama tabahnya seperti saat bootstrapping dulu?
Bootstrapping dengan Tenggat
Bicara soal bootstrapping, saya teringat paparan Co-Founder & CTO WomenWorks Fransiska PW Hadiwidjana di salah satu webinar. WomenWorks adalah sebuah startup yang memfasilitasi para perempuan untuk bisa bertemu dan berkoneksi dengan perempuan lain yang lebih berpengalaman. Womenworks menyediakan jaringan dan program mentoring untuk tumbuh baik secara profesional maupun pribadi.
Bootstrapping menjadi fase penting di mana tiap saat kita meyakinkan diri memastikan rintisan konsisten berjalan di jalur tujuan. Dalam prosesnya, insting survivalitas akan terlatih dengan selalu berusaha menembus batasan ketika dihadapkan tantangan. Di WomenWorks, Fransiska menerapkan apa yang disebut "ramen profitability". Istilah ramen menjadi simbol keteguhan founder meski tiap hari cuma makan ramen atau mi goreng. Ibaratnya. Metode ini memacu usaha rintisan berupaya survive dari transaksi itu sendiri tanpa fundraising atau investor. Apalagi visi dan misi WomenWorks tentang keperempuanan menyentuh banyak orang yang kemudian menawarkan diri menjadi relawan. Saat ini sudah ada lebih dari 20 volunteers yang memperkuat platform ini.
Namun, Fransiska tak menafikan, tiap orang memiliki kondisi yang berbeda. Untuk itu, dirinya menyarankan kita juga memasang tenggat atau deadline. Misal, kita bikin batas waktu bootstrapping selama 1-2 tahun. Kalau tidak ada kemajuan, mungkin sudah waktunya mengambil keputusan besar yang menentukan. Karena, kadang ada gagasan namun pasar belum siap. Atau mungkin ada ide yang kurang tereksplorasi. Jadi, tidak apa mengubah model bisnis bila memang ada potensi yang lebih bagus.